Senin, 13 November 2023

IDEALIS BERKEDOK NEPOTISME

Foto Pribadi Israeni

Belakangan ini marak sekali isu-isu terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sangat tidak sesuai dengan keadaan perekonomian mahasiswa, dimulai dari tidak transparannya proses penentuan UKT hingga pemberian nominal UKT kepada mahasiswa yang memiliki latar belakang ekonomi yang sangat tidak masuk akal jika dibandingkan dengan nomimal UKT yang diterima. Kasus seperti ini sangat sering kita jumpai di perguruan tinggi baik itu negeri ataupun swasta, berangkat dari isu dan kasus tersebut aliansi-aliansi mahasiswa sering kali menyuarakan terkait transparansi yang dilakukan oleh pimpinan terhadap penentuan nominal UKT yang kemudian berakhir dengan ketidakjelasan pula.

Pemberian Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak sesuai dengan keadaan perekonomian mahasiswa merupakan isu yang kompleks dan memiliki dampak yang signifikan dalam dunia perguruan tinggi. Keputusan mengenai besaran UKT sering kali diambil tanpa mempertimbangkan secara mendalam kondisi finansial mahasiswa, sehingga dapat menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan tinggi. Sering kali hal ini dipertanyakan kepada pihak yang terkait namun jawaban yang didapatkan masih saja menimbulkan kontradiksi dengan keadaan yang sebenarnya. Pertimbangan-pertimbangan yang diambil seperti ketidaksesuaian nominal pendapatan dan pengeluaran yang tercantum dalam berkas mahasiswa, wawancara yang dilakukan kesetiap mahasiswa tidak sinkron dengan berkas yang dimasukkan kepihak terkait, observasi secara langsung untuk melihat keadaan ekonomi mahasiswa yang sebenarnya, nyatanya masih sangat tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan, hal ini bisa dilihat pada status orangtua mahasiswa dan jumlah UKT yang diterimanya, pengakuan secara langsung oleh beberapa mahasiswa yang ternyata sama sekali tidak melakukan wawancara dengan pihak-pihak penentu UKT tersebut.

Ada beberapa aspek krusial terkait permasalahan ini, yang menjadi hal penting untuk kita ketahui bahwasanya biaya pendidikan dalam perguruan tinggi telah menjadi salah satu faktor penentu akses terhadap kesempatan pendidikan. Sistem UKT yang diterapkan di banyak perguruan tinggi sering kali didasarkan pada pertimbangan biaya operasional dan penyediaan fasilitas. Namun, dampaknnya terhadap mahasiswa dari latar belakang ekonomi rendah dapat menjadi sangat berat.

Mahasiswa dengan keterbatasan ekonomi mungkin menghadapi kesulitan dalam membayar UKT yang diterapkan, yang dapat menciptakan tekanan finansial yang signifikan. Hal ini dapat berdampak pada kemampuan mereka untuk fokus pada studi, mempengaruhi kesejahteraan mental, dan bahkan mengarah pada keputusan untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan mendalam terkait dengan kriteria penentuan UKT agar dapat mencerminkan keadaan ekonomi mahasiswa secara lebih akurat.

Penting untuk mencatat bahwa kebijakan terkait UKT harus memperhatikan diversitas situasi ekonomi mahasiswa. Realitas ekonomi setiap individu bisa sangat berbeda, dan kebijakan yang terlalu umum mungkin tidak mampu mengakomodasi kebutuhan spesifik setiap mahasiswa. Oleh karena itu, perlu dilakukan peninjauan terhadap kebijakan tersebut dengan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk mahasiswa, untuk memastikan keadilan dan relevansi.

Permasalahan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak sesuai dengan keadaan perekonomian mahasiswa dapat semakin kompleks ketika praktik nepotisme muncul dalam pemberian beasiswa yang mengandalkan unsur orang dalam. Hal ini dapat memberikan dampak negatif yang mendalam terhadap keadilan dan keterbukaan dalam pemberian bantuan keuangan pendidikan. Praktik nepotisme ini dapat menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap kesempatan pendidikan. Mahasiswa yang memiliki hubungan atau koneksi dengan pemberi beasiswa memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan dukungan keuangan, sementara mahasiswa lain dengan prestasi dan kondisi ekonomi yang sama atau lebih baik mungkin dikesampingkan. Praktik ini dapat memperpetuasi pelanggengan keturunan, dimana bantuan keuangan cenderung mengalir ke kelompok atau individu tertentu berdasarkan hubungan pribadi daripada kebutuhan dan prestasi akademis. Hal ini bertentangan dengan prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi dasar dalam pemberian beasiswa.

Praktik nepotisme dalam pemberian beasiswa dapat merongrong kredibilitas institusi pendidikan. Mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum dapat kehilangan kepercayaan terhadap intergritas lembaga pendidikan tinggi jika kebijakan pemberian beasiswa terlihat tidak transparan dan adil. Praktik nepotisme seperti ini juga dapat memperkuat kesenjangan sosial dan ekonomi. Bantuan keuangan seharusnya menjadi sarana untuk meratakan kesempatan, bukan untuk memperlebar jurang antara mereka yang memiliki akses dan mereka yang tidak.

Salah satu solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan terkait permasalahan yang tidak pernah selesai ini adalah penyamarataan UKT pada setiap mahasiswa, hal ini patut untuk dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan perbedaan kondisi perekonomian diantara mahasiswa. Meskipun konsep ini terdengar sederhana, penerapannya dapat memiliki dampak positif yang signifikan terhadap aksebilitas pendidikan tinggi. Pengurangan beban finansial dalam hal ini penyamarataan UKT akan menghilangkan perbedaan besar dalam biaya pendidikan antara mahasiswa dari latar belakang ekonomi berbeda. Hal ini dapat mengurangi beban finansial yang dialami oleh mahasiswa yang kurang mampu, memungkinkan mereka fokus pada studi tanpa kekhawatiran berlebih terkait pemenuhan kebutuhan dasar.

Dengan menerapkan sistem UKT yang sama untuk semua mahasiswa, juga dapat membuat aksebilitas pendidikan tinggi dapat lebih merata. Ini menciptakan peluang yang setara bagi semua individu tanpa memandang latar belakang ekonomi mereka, mengurangi kesenjangan dan memastikan bahwa pendidikan tinggi benar-benar menjadi hak setiap individu. Hal ini juga dapat membantu mengurangi stigma sosial yang sering melekat pada mahasiswa yang menerima bantuan keuangan.

Selain itu, tanpa beban finansial yang berlebihan, mahasiswa dapat lebih fokus pada pencapaian akademisi mereka. Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana prestasi akademis lebih diprioritaskan daripada kondisi ekonomi, mendorong budaya pembelajaran yang sehat dan berpusat pada prestasi.

Penulis: Israeni (Anggota Bidang Minat dan Bakat HMJ-PBS Periode 2023)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar