![]() |
| Foto Pribadi Israeni |
Belakangan
ini marak sekali isu-isu terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sangat tidak
sesuai dengan keadaan perekonomian mahasiswa, dimulai dari tidak transparannya
proses penentuan UKT hingga pemberian nominal UKT kepada mahasiswa yang
memiliki latar belakang ekonomi yang sangat tidak masuk akal jika dibandingkan
dengan nomimal UKT yang diterima. Kasus seperti ini sangat sering kita jumpai
di perguruan tinggi baik itu negeri ataupun swasta, berangkat dari isu dan
kasus tersebut aliansi-aliansi mahasiswa sering kali menyuarakan terkait
transparansi yang dilakukan oleh pimpinan terhadap penentuan nominal UKT yang
kemudian berakhir dengan ketidakjelasan pula.
Pemberian
Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak sesuai dengan keadaan perekonomian
mahasiswa merupakan isu yang kompleks dan memiliki dampak yang signifikan dalam
dunia perguruan tinggi. Keputusan mengenai besaran UKT sering kali diambil
tanpa mempertimbangkan secara mendalam kondisi finansial mahasiswa, sehingga
dapat menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan tinggi. Sering kali
hal ini dipertanyakan kepada pihak yang terkait namun jawaban yang didapatkan
masih saja menimbulkan kontradiksi dengan keadaan yang sebenarnya.
Pertimbangan-pertimbangan yang diambil seperti ketidaksesuaian nominal
pendapatan dan pengeluaran yang tercantum dalam berkas mahasiswa, wawancara
yang dilakukan kesetiap mahasiswa tidak sinkron dengan berkas yang dimasukkan
kepihak terkait, observasi secara langsung untuk melihat keadaan ekonomi
mahasiswa yang sebenarnya, nyatanya masih sangat tidak sesuai dengan yang
terjadi di lapangan, hal ini bisa dilihat pada status orangtua mahasiswa dan
jumlah UKT yang diterimanya, pengakuan secara langsung oleh beberapa mahasiswa
yang ternyata sama sekali tidak melakukan wawancara dengan pihak-pihak penentu
UKT tersebut.
Ada
beberapa aspek krusial terkait permasalahan ini, yang menjadi hal penting untuk
kita ketahui bahwasanya biaya pendidikan dalam perguruan tinggi telah menjadi
salah satu faktor penentu akses terhadap kesempatan pendidikan. Sistem UKT yang
diterapkan di banyak perguruan tinggi sering kali didasarkan pada pertimbangan
biaya operasional dan penyediaan fasilitas. Namun, dampaknnya terhadap
mahasiswa dari latar belakang ekonomi rendah dapat menjadi sangat berat.
Mahasiswa
dengan keterbatasan ekonomi mungkin menghadapi kesulitan dalam membayar UKT
yang diterapkan, yang dapat menciptakan tekanan finansial yang signifikan. Hal
ini dapat berdampak pada kemampuan mereka untuk fokus pada studi, mempengaruhi
kesejahteraan mental, dan bahkan mengarah pada keputusan untuk tidak
melanjutkan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan
mendalam terkait dengan kriteria penentuan UKT agar dapat mencerminkan keadaan
ekonomi mahasiswa secara lebih akurat.
Penting
untuk mencatat bahwa kebijakan terkait UKT harus memperhatikan diversitas
situasi ekonomi mahasiswa. Realitas ekonomi setiap individu bisa sangat
berbeda, dan kebijakan yang terlalu umum mungkin tidak mampu mengakomodasi
kebutuhan spesifik setiap mahasiswa. Oleh karena itu, perlu dilakukan
peninjauan terhadap kebijakan tersebut dengan melibatkan berbagai pihak
terkait, termasuk mahasiswa, untuk memastikan keadilan dan relevansi.
Permasalahan
Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak sesuai dengan keadaan perekonomian
mahasiswa dapat semakin kompleks ketika praktik nepotisme muncul dalam
pemberian beasiswa yang mengandalkan unsur orang dalam. Hal ini dapat
memberikan dampak negatif yang mendalam terhadap keadilan dan keterbukaan dalam
pemberian bantuan keuangan pendidikan. Praktik nepotisme ini dapat menciptakan
ketidaksetaraan akses terhadap kesempatan pendidikan. Mahasiswa yang memiliki
hubungan atau koneksi dengan pemberi beasiswa memiliki peluang lebih besar
untuk mendapatkan dukungan keuangan, sementara mahasiswa lain dengan prestasi
dan kondisi ekonomi yang sama atau lebih baik mungkin dikesampingkan. Praktik
ini dapat memperpetuasi pelanggengan keturunan, dimana bantuan keuangan
cenderung mengalir ke kelompok atau individu tertentu berdasarkan hubungan
pribadi daripada kebutuhan dan prestasi akademis. Hal ini bertentangan dengan
prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi dasar dalam pemberian beasiswa.
Praktik
nepotisme dalam pemberian beasiswa dapat merongrong kredibilitas institusi
pendidikan. Mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum dapat kehilangan kepercayaan
terhadap intergritas lembaga pendidikan tinggi jika kebijakan pemberian
beasiswa terlihat tidak transparan dan adil. Praktik nepotisme seperti ini juga
dapat memperkuat kesenjangan sosial dan ekonomi. Bantuan keuangan seharusnya
menjadi sarana untuk meratakan kesempatan, bukan untuk memperlebar jurang
antara mereka yang memiliki akses dan mereka yang tidak.
Salah
satu solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan terkait permasalahan yang tidak
pernah selesai ini adalah penyamarataan UKT pada setiap mahasiswa, hal ini
patut untuk dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan perbedaan kondisi
perekonomian diantara mahasiswa. Meskipun konsep ini terdengar sederhana,
penerapannya dapat memiliki dampak positif yang signifikan terhadap aksebilitas
pendidikan tinggi. Pengurangan beban finansial dalam hal ini penyamarataan UKT
akan menghilangkan perbedaan besar dalam biaya pendidikan antara mahasiswa dari
latar belakang ekonomi berbeda. Hal ini dapat mengurangi beban finansial yang
dialami oleh mahasiswa yang kurang mampu, memungkinkan mereka fokus pada studi
tanpa kekhawatiran berlebih terkait pemenuhan kebutuhan dasar.
Dengan
menerapkan sistem UKT yang sama untuk semua mahasiswa, juga dapat membuat
aksebilitas pendidikan tinggi dapat lebih merata. Ini menciptakan peluang yang
setara bagi semua individu tanpa memandang latar belakang ekonomi mereka,
mengurangi kesenjangan dan memastikan bahwa pendidikan tinggi benar-benar
menjadi hak setiap individu. Hal ini juga dapat membantu mengurangi stigma
sosial yang sering melekat pada mahasiswa yang menerima bantuan keuangan.
Selain itu, tanpa beban finansial yang berlebihan, mahasiswa dapat lebih fokus pada pencapaian akademisi mereka. Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana prestasi akademis lebih diprioritaskan daripada kondisi ekonomi, mendorong budaya pembelajaran yang sehat dan berpusat pada prestasi.
Penulis: Israeni (Anggota Bidang Minat dan Bakat HMJ-PBS Periode 2023)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar