Selasa, 18 November 2025

HMJ Perbankan Syariah & Prodi Perbankan Syariah UIN Alauddin Makassar Gelar Seminar Internasional, Sinergikan Stakeholders untuk Ekonomi Syariah Berkelanjutan

 

HMJ Perbankan Syariah Prodi Perbankan Syariah UIN Alauddin Makassar Gelar Seminar Internasional, Sinergikan Stakeholders Untuk Ekonomi Syariah Berkelanjutan

Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Perbankan Syariah UIN Alauddin Makassar menggelar seminar internasional dengan tema "SINERGIZING STAKEHOLDERS FOR A RESILENT AND SUSTAINABLE SHARIA ECONOMY IN THE ERA OF GLOBAL UNCERTAINTY" Lewat kegiatan IB Fair, seminar ini sukses menginspirasi dan meningkatkan pemahaman terkait keuangan syariah.

Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, pada Senin 17 November 2025. Dalam sambutannya Ketua Umum HMJ Perbankan syariah Ashabul  menyampaikan bahwa Seminar ini bertujuan untuk menyatukan seluruh pemangku kepentingan pemerintah, lembaga keuangan, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil agar dapat bekerja sama secara sinergis dalam membangun ekonomi syariah yang tidak hanya tahan terhadap gejolak global, tetapi juga berkelanjutan secara sosial, lingkungan, dan finansial, melalui pertukaran pengetahuan, inovasi produk, serta kebijakan yang mendukung prinsip keadilan dan tata kelola yang baik.

Peserta kegiatan terdiri atas dosen dan mahasiswa jurusan Perbankan Syariah serta perwakilan lembaga mitra dari dalam dan luar negeri yang berpartisipasi dalam mendukung penguatan sistem ekonomi syariah. Dalam sambutannya, Ketua Jurusan Perbankan Syariah Dr. Ismawati S.E,. M.Si. bagaimana sinergi Keuangan Syariah mampu memperkuat perekonomian dalam menggapai cita cita bangsa yakni Indonesia Emas 2045. Acara dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam yang diwakili oleh, Dr. Hasbiullah S.E,. M.Si. lalu kemudian seluruh sesi diskusi dimoderatori oleh Asyraf Mustamin, M.E.

Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber utama, di antaranya Masumi Ono, perwakilan dari Japan International Cooperation Agency (JICA), lembaga resmi pemerintah Jepang yang bergerak dalam bidang pembangunan negara berkembang. Selain itu, turut hadir narasumber lainnya yakni Dr. H. Nasrullah Bin Sapa, Lc,. M.M (Head South Sulawesi Regional Committe for Islamic Economics and Finance Di ision and lecturer in Islamic Bangking departement), Gama Genta (Head of Sharia Bank Survellance Division), Muh. Rahmat (Assustant Director of Financial Services Institutions Supervisor Division 1 OJK South Sulawesi and West Sulawesi).

Dalam paparannya, narasumber dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Gama Genta membawakan materi Generasi Muda Menjadi bagian penting dalam mewujudkan indonesia emas 2045, peran ekonomi Syariah diperkuat dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang. Dilanjut oleh narasumber dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muhammad Rahmat dalam pemaparan materinya Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah, menyampaikan banyak orang orang yang menggunakan produk perbankan syariah namun sedikit yang mengetahui apa sih bedanya dengan konvensional.

Dalam paparannya, Masumi Ono membawakan materi terkait bagaimana tingkat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di negara Jepang, kemudian membahas ekonomi jepang yang merosot di akibatkan beberapa masalah. Dalam paparannya Dr. H. Nasrullah Bin Sapa, Lc,. M.M membawakan materi terkait bagaimana penyelarasan kebijakan dan indikator ekonomi syariah dalam perencanaan pembangunan daerah.

 


Penulis: Fajri
Editor: Muh. Haycal

Senin, 27 Oktober 2025

INDONESIA DI PERSIMPANGAN JALAN ANTARA NEGARA HUKUM ATAU NEGARA KEKUASAAN

 


Indonesia yang hari ini di persimpangan jalan antara negara hukum atau negara kekuasaan kembali menjadi fenomena yang sangat penting untuk kita bahas bersama.
negara yang hari ini di pimpin oleh Prabowo -gibran mencerminkan bahwasannya Indonesia menjadi bayang- bayang negara kekuasaan yang di nikmati oleh segelintir orang saja, ekonomi yang hari ini ini di nikmati oleh segelintir elit, pendidikan yang di reproduksi menjadi alat komoditas,dan hukum yang semestinya menjadi pelindung rakyat justru di manfaatkan oleh orang orang yang punya jabatan dan kekuasaan.

        Sejak reformasi 1998, Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi dengan sistem pemilu yang relatif terbuka dan kompetitif  Namun dalam dua dekade terakhir, praktik politik dinasti semakin menguat,khususnya setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang membatalkan larangan politik dinasti dalam Undang-Undang Pilkada. Keputusan ini membuka peluang bagi keluarga pejabat untuk mencalonkan diri dalam pemilu yang berdampak pada peningkatan jumlah elit yang menduduki struktur kepemerintahan dengan latar belakang politik dinasti. 
Pemilu 2024 menjadi titik krusial dalam perdebatan mengenai kemunduran demokrasi di Indonesia ,setelah fenomena Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo yang resmi dicalonkan dan terpilih sebagai Wakil Presiden setelah adanya perubahan mendadak dalam aturan pencalonan usia minimum.padahal Salah satu tuntutan reformasi 1998 adalah memberantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Maka upaya Presiden Jokowi memaksakan anaknya menjadi Cawapres dianggap sudah menghidupkan Kembali penyakit orde baru yaitu KKN dan ini dianggap telah mencederai dan mengancam demokrasi di Indonesa.

        Maka melihat kondisi bangsa yang di ambang kehancuran maka perlu kira nya ada pendobrak untuk bagaimana kemudian kembali menghidupkan apa yang menjadi cita cita leluhur bangsa kita yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.banyak nya suara yang hari ini dibungkam, banyak nya kemudian tindakan represisf kepada mahasiswa kritis , di culik, diasingkan dan bahkan dibunuh yang menandakan bahwa ada siasat para penguasa untuk melanggengkan status quo nya.menarik dari sejarah historis, kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari bagaimana kemudian peran seorang mahasiswa dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa atau dalam hal ini mahasiswa sebagai jembatan kemerdekaan Indonesia.maka diperlukan upaya yang cukup serius bagi tiap tiap mahasiswa meningkatkan kesadaran kolektif dalam membaca arah bangsa kedepannya.

        Menurut Louis althusser kekuasaan dapat dipertahankan melalui dua jenis "aparatus negara" yaitu aparatus negara represif (RSA) dan aparatus negara ideologis (ISA) yang masing masing bekerja sama untuk mempertahankan dominasi kelas penguasa.Ketika negara ditempatkan dalam konteks RSA, maka segala institusi yang kita yakini sebagai institusi penegakan hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Penjara dll) dipakai untuk menjamin kekuasaan segelintir golongan yang mendominasi model produksi dan hubungan produksinya agar eksploitasi proyek tetap berlangsung. Selanjutnya, ketika negara ditempatkan dalam konteks ISA, maka seluruh institusi seperti (sekolah ,kampus,dll)tempat kita berada dan bergantung secara sosial hanyalah penjelmaan dari ideologi yang secara sadar dan tak sadar menuntut kita untuk taat, tunduk dan patuh terhadap satu otoritas tunggal tanpa melakukan kritik serta analisis secara mendalam tentang apa yang sudah di ajarkan.mereka membentuk cara individu berpikir agar mengikut dengan sistem,yang ditanamkan sejak dini dan kemudian menjadikan setiap apa yang akan kita lakukan sebagai cerminanan dari ideologi tersebut.maka muncullah segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan yang disebabkan oleh relasi kuasa dan ideologi.

        Kekuasaan tidak selalu tunggal tapi menyebar dengan berbagai mekanisme,maka dari itu diperlukan upaya resistensi dan oposisi untuk mengubah sistem tersebut.dimulai dari kesadaran tiap tiap individu untuk belajar dan bijak dalam melihat situasi dan kondisi di sekitar nya, kemudian mendidik, mengatur, dan mengorganisir massa dari tatanan akar rumput,atau dalam hal ini seperti yang dikatakan oleh Antonio gramsici ,diperlukan para intelektual organik yaitu tokoh dari rakyat yang mampu menyadarkan masyarakat terhadap struktur penindasan yang terjadi.




Penulis: Muh Akhwan Al Wahda
Editor: Al-Fina Nur

Senin, 15 September 2025

Kegiatan Ramah Tamah Mahasiswa PBS: Mengapresiasi Prestasi dan Dedikasi

 

Jurusan Perbankan Syariah kembali mencatatkan momen membanggakan dalam kegiatan Ramah Tamah yang berlangsung pada 15 September 2025 di CLARO HOTEL MAKASSAR. Agenda ini menjadi ruang apresiasi atas perjalanan akademik dan kontribusi mahasiswa terbaik.

Salah satu sorotan utama dalam kegiatan ini adalah penghargaan kepada Muh. Ibrahim Rasyid, mahasiswa Perbankan Syariah yang berhasil meraih predikat Mahasiswa Terbaik Tingkat Jurusan sekaligus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Alauddin Makassar.

Tak hanya berprestasi secara akademik, Ibrahim juga telah menapaki dunia profesional dengan mengikuti program pembibitan di Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai Calon Karyawan. Capaian ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Perbankan Syariah siap bersaing dan memberi kontribusi strategis di industri keuangan syariah nasional.




Kegiatan ini bukan hanya sebagai bentuk perpisahan bagi mahasiswa akhir, namun juga menjadi momen memotivasi generasi berikutnya untuk terus berprestasi, menjaga nilai-nilai syariah, dan memberi dampak nyata bagi masyarakat.

Penulis; Andi Asti Yuninsi
Editor; Muh Furqan Al  Faruqi

Kamis, 26 Juni 2025

PERAN MAHASISWA PERBANKAN SYARIAH DALAM EKONOMI UMAT

 

"Peran Mahasiswa Perbankan Syariah dalam Ekonomi Umat: Sebuah Renungan"


Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri: Mengapa saya memilih jurusan Perbankan Syariah?

Di antara banyak jurusan lain yang mungkin lebih populer atau lebih menjanjikan secara finansial, kita memilih jalan ini, jalan yang sunyi tapi penuh makna. Mungkin awalnya hanya karena dorongan orang tua, tren, atau bahkan karena tidak sengaja. Tapi seiring waktu, pelan-pelan kita mulai sadar: kita tidak sedang belajar tentang uang saja, kita sedang belajar tentang nilai, tentang keadilan, tentang keberkahan.

 

Menjadi mahasiswa Perbankan Syariah bukan sekadar mempelajari akad-akad dan istilah-istilah fiqh muamalah yang rumit. Lebih dari itu, kita sedang mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari perubahan besar: mengembalikan ekonomi kepada ruh-nya yakni sebagai alat untuk menyejahterakan manusia, bukan menindasnya.

 

Saya ingat betul saat pertama kali mengikuti seminar kecil di kampus yang membahas tentang riba yang dimana pematerinya berkata dengan lembut, Ketika kamu memahami ekonomi syariah, kamu tidak sedang belajar alternatif dari sistem konvensional. Kamu sedang belajar bagaimana menyelamatkan hidup orang lain dari ketidakadilan yang tak terlihat. Kata-kata itu menggugah. Sejak saat itu, saya mulai melihat ilmu ini bukan sebagai teori, tapi sebagai amanah.

 

Kita hidup di zaman ketika umat Islam masih bergelut dalam jerat pinjaman berbunga, hutang konsumtif, dan ketidaktahuan tentang cara mengelola keuangan. Di sisi lain, kita sebagai mahasiswa perbankan syariah diberi kemewahan untuk belajar, untuk memahami, dan untuk menyampaikan. Kita punya ilmu, meskipun belum sempurna. Tapi bukankah dakwah ekonomi itu justru harus dimulai dari kita?

 

Tak perlu menunggu jadi dosen, ustaz, atau manajer bank syariah untuk berdampak. Kadang satu postingan di media sosial, satu sesi diskusi di warung kopi, atau satu kegiatan edukasi keuangan di desa, itu sudah cukup untuk menyalakan api kesadaran. Dan di situlah kita mulai mengambil peran sebagai penyambung lidah kebaikan, sebagai teman dialog umat, bukan hanya penghafal teori.

 

Teman-temanku pernah berkata, Kita ini bukan siapa-siapa. Tapi kita punya hati dan ilmu. Kalau dua itu digabung, in sya Allah kita bisa membantu menguatkan ekonomi umat. Kata-katanya sederhana, tapi saya yakin itulah esensi dari kenapa kita ada di sini: belajar agar bisa memberi. Memahami agar bisa membimbing.

 

Dan pada akhirnya, bukan soal seberapa besar gelar yang akan kita raih nanti, tapi seberapa banyak kebaikan yang bisa kita tanam dari hari ini. Karena ekonomi syariah tidak akan besar karena teori-teori di buku, tapi karena ada anak-anak muda yang diam-diam berjuang menyampaikan nilainya, dalam diam, dalam cinta, dalam keikhlasan.


Penulis: Andi Asti Yuninsi

Jumat, 06 Juni 2025

Setelah Kehilangan

"Setelah Kehilangan"

Penulis : Alesha Marteen

Jum’at, 31 Januari 2025. Akhirnya hari itu tiba juga, hari dimana Eca memutuskan untuk mengambil waktu untuk dirinya sendiri, betu;-betul sendirian. Kebetulan, film yang sudah ia tunggu-tunggu sejak lama akhirnya rilis juga (tepat dihari itu, sudah hari ketiga penayangan). Judulnya, Perayaan Mati Rasa, terinspirasi dari lagu milik Umay, selaku founder dari Production House (PH) yang membuat film ini juga. Rasa penasarannya akan film ini semakin memuncak ketika ia menonton trailer-nya pertama kali, “Sialan, ini tentang keluarga. Tentang anak pertama dan Ayah, mungkin baiknya kutonton sendirian, sekalian mengambil ruang untuk merenung” Gumam Eca saat itu.

Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya film ini tayang juga, tapi Eca tidak langsung menontonnya di hari pertama tayang. Ia sengaja memilih tanggal terakhir di bulan Januari, agar bisa menutup Januari dengan menghabiskan waktu sendirian dan dengan tontonan yang sudah lama ia tunggu.

Eca memilih kursi nomor F9 waktu itu, itu adalah spot favoritnya setiap nonton di bioskop. Malam itu, ia memilih jam tayang terakhir, sekitar pukul 21.00. Karena itu masih hari kerja dan rutinitasnya setiap pulang kerumah harus menemani ibu berbelanja dulu baru boleh melakukan aktivitas yang lain. selain itu, alasan lainnya memilih jam tayang terakhir agar, sepulang dari menonton film ia bisa menyaksikan jalan raya yang biasanya padat menjadi sepi di tengah malam, meski tidak begitu sepi, setidaknya tidak sepadat di pagi atau sore hari. Menurut Eca, ketika jalan sedang sepi-sepinya, itu adalah waktu yang tepat untuk menghabiskan stok lamunan (lebih tepatnya beban pikiran).

***

Eca berangkat ke Mall lebih awal, sekitar pukul 19.00 sudah sampai disana. “Sesuai dengan niat, aku ingin menikmati akhir Januari, sendirian. Rasanya menyenangkan sekali, mungkin sebaiknya aku makan di tempat favoritku dulu ya? Untuk menambah tingkat kebahagiaan malam ini” Batin Eca sembari menuju ke tempat makan favoritnya itu.

Setelah makan, Eca menghabiskan waktu tepat di samping studio 1, tempat film yang akan ia tonton tayang pada pukul 21.00 nanti. Sembari menerka-nerka seperti apa kiranya film itu, ia memilih untuk memperhatikan orang-orang sekitar. “Cukup beragam dan ternyata menenangkan juga memperhatikan orang-orang yang baru saja selesai menonton film atau mungkin sama sepertiku, sedang meneka-nerka film yang akan kita tonton.” Eca terus bergumam, pertanda bahwa ia sangat menikmati moment ini.

Saat sedang asik memperhatikan orang berlalu lalang, tiba-tiba saja seseorang menepuk pundaknya,

“Eca…” sapa orang itu sembari tersenyum menatap Eca.

“Ehh.. Haiiii, Ad—nannn” Eca sedikit canggung membalas sapaan orang itu.

Bagaimana ia tidak canggung, seseorang yang sedang duduk disampingnya ini, yang baru saja menyapanya adalah laki-laki yang pernah dekat dengannya. Dekat bukan hanya sebagai teman saja, tapi lebih dari itu.

“Kamu sendirian ca?” tanya Adnan

“Ah iyaa nih, kalo kamu?” jawab Eca

“Hmmm, iya. Aku sendirian. Eh kamu mau nonton film Perayaan Mati Rasa juga ya?” tanya Adnan lagi karena melihat Eca sedang memegang tiket film itu

“Iya nih, sepertinya filmnya menarik deh” jawab Eca

“Selepas nonton, kamu ada waktu luang tidak? Sudah lama kita tidak bertemu. Mungkin kita bisa life updated sebentar?” tanya Adnan yang terlihat sangat senang bertemu Eca lagi setelah sekian lama

“Boleh deh, kebetulan aku lagi gak ada agenda apapun setelah menonton film. Apalagi besok libur, jadi bolehlah yah untuk begadang sedikit” jawab Eca yang masih berusaha menghilangkan rasa canggungnya itu

Tidak terasa sudah pukul 21.00, studio dibuka dan satu persatu orang sudah mulai masuk ke studio, begitupun Eca. Selama menonton filmnya, beberapa scene men-trigger trauma yang dimilikinya. terlebih, saat scene Satya Antono, ayah dari Ian Antono dinyatakan tenggelam. Perasaan itu, rasa sedih dan kehilangan itu. Membuat Eca kembali mengingat kenangan pahit sewaktu ia masih SMA, saat dimana Ayahnya meninggal. Menonton film ini, cukup membuka beberapa memori lamanya tentang kehilangan

Begitu filmnya selesai, saat Eca masih berusaha mengontrol perasaannya agar tidak terlalu terbawa oleh apa yang baru saja ia tonton, Adnan sudah berada tepat disampingnya dan bertanya “Filmnya bagus banget ya ca”.

“Aku jadi teringat saat Ibu meninggal, rasanya sedih, marah, ah pokoknya campur aduk. Lalu setelahnya, Aku jadi kehilangan arah dan….” lanjutnya

“Nan, gimana kalau kita lanjut ngobrol ditempat lain aja?. Kan tadi udah janjian juga” potong Eca, “bukan bermaksud tidak ingin mendengar curhatanmu nan. Hanya saja, emosiku belum stabil” batin Eca.

***

Mereka memutuskan berbicara di warung kopi tempat mereka biasanya berdiskusi banyak hal ketika masih berkuliah. Setelah cukup lama berbicara, Adnan menyadari bahwa mereka belum juga berdiskusi tentang film yang baru saja mereka tonton.

“Menurutmu bagaimana soal film tadi ca?” pancing Adnan, untuk memulai pembahasan mengenai film tadi

“Hmm, padahal aku sengaja tidak membahasnya. Ternyata kamu masih ingat haha” jawab Eca sambil sedikit tertawa

“Menurutku film tadi cukup bagus. Walaupun untuk bebarapa hal cukup membuatku pusing sih. Tapi alurnya menarik, cukup memberi ruang untuk penontonnya memberi pemaknaan tersendiri untuk filmnya.” lanjut Eca yang mulai serius dengan topik yang tengah mereka bahas

“Bagian paling menyedihkan tentu saja saat ayah Ian dinyatakan tenggelam, apalagi saat itu hubungan Ian dan ayahnya sedang tidak baik.” lanjutnya lagi

“Iyaaa, aku setuju. Bagian itu pasti relate untuk semua orang yang pernah merasakan kehilangan. Menurutku film ini juga membantu orang-orang untuk bisa mengikhlaskan kehilangan itu” jawab Adnan, setuju dengan pernyataan Eca.

“Ya, Ikhlas dengan kehilangan itu. Berdamai dengan perasaan itu. Hal yang paling sulit untuk dilakukan oleh sesiapapun yang merasakan kehilangan mendalam.” lanjut Adnan.

“Ah iya, aku setuju dengan itu Meski perlu waktu yang tidak bisa ditentukan, bisa saja cepat atau mungkin cukup lambat, Mengikhlaskan bukan hal yang mudah untuk dilakukan.” Eca menjawab dengan nada yang sedikit sedih

Waktu berlalu begitu cepat, sudah cukup malam. Mereka harus berpisah setelah berbincang mengenai banyak hal termasuk film yang baru saja mereka tonton.

“Nan, sepertinya ini sudah cukup larut malam. Sebaiknya aku pulang, karena sudah mulai mengantuk hehe” ucap Eca berpamitan pada Adnan

***

Diperjalanan pulang ke kontrakannya, Eca teringat kalimat Adnan perihal berdamai dengan kehilangan. Ia berusaha meyakinkan dirinya, bahwa saat ini ia sudah mengikhlaskan kepergian ayahnya.

Eca memang sudah berdamai dengan kehilangan itu, semua itu berawal ketika ia menyadari bahwa setelah kepergian Ayahnya, ia jauh lebih mandiri dalam banyak hal bahkan tidak melibatkan Ibunya dengan dalih tidak ingin melihat Ibunya kepikiran atau kelelahan karenanya

Setelah menonton film dan berdiskusi dengan Adnan, Eca baru menyadari bahwa ia sudah sejauh ini melangkah setelah kehilangan itu.

***

Sesampainya di kontrakan, Eca mengambil sebuah buku. Buku yang sudah lama tidak ia sentuh, buku yang berisi curahan hatinya selama proses berdamai dengan kehilangan itu, ia membacanya kembali. Setiap lembarnya berisi luapan emosinya.

Ia memeluk buku itu kedalam dekapannya, ia bangga dengan dirinya sendiri yang mampu melewati fase kehilangan itu dengan cara yang menyenangkan. Ia bangga, bahwa dirinya tidak larut dalam kesedihan itu.

Eca sepakat dengan kalimat yang Ian sampaikan diawal film :

“Melepaskan adalah bentuk paling tulus dari mencintai, ternyata dengan ketulusan itu, semesta menghadiahi gue, Perayaan Mati Rasa” - Ian Antono (Perayaan Mati Rasa)


Selasa, 20 Mei 2025

ISLAMIC BANKING OUTDOR STUDY 2025


 Opini terakhir dari kelompok lima membahas terkait;

"Tantangan Adopsi Fintech Syariah di Indonesia"


Perkembangan teknologi digital telah mendorong transformasi signifikan di sektor keuangan global, termasuk di Indonesia, melalui kehadiran financial technology (Fintech), Salah satu bentuk inovasi yang berkembang dalam ekosistem fintech nasional adalah fintech syariah, yaitu layanan keuangan digital yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah seperti keadilan, transparansi, dan larangan riba. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan fintech syariah. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa adopsi fintech syariah masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks.  

Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa jumlah penyelenggara fintech peer-to-peer(P2P lending) berbasis syariah yang terdaftar dan berizin masih sangat terbatas dibandingkan dengan total pelaku industri fintech lending di Indonesia. Minimnya pelaku ini mengindikasikan rendahnya tingkat adopsi fintech syariah dibandingkan fintech konvensional. Salah satu tantangan utamanya adalah rendahnya literasi masyarakat mengenai keuangan syariah, terutama dalam konteks digital. Banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan mendasar antara produk fintech konvensional dan syariah, sehingga belum menjadikan fintech syariah sebagai pilihan utama.  

Selain itu, tantangan lainnya mencakup keterbatasan modal dan kapasitas teknologi dari penyelenggara fintech syariah. kurangnya kolaborasi antara industri dan lembaga keuangan syariah tradisional, serta regulasi yang dinilai belum sepenuhnya mendukung inovasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Di sisi lain, standar sertifikasi dan pengawasan dari lembaga syariah juga belum merata pada semua platform fintech syariah yang ada. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi dan mengkaji berbagai hambatan dalam adopsi fintech syariah di Indonesia. Kajian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi strategi pengembangan ekosistem fintech syariah yang lebih inklusif, berdaya saing, dan sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.  
 
Tantangan Adopsi Fintech Syariah

Meskipun fintech syariah memiliki potensi besar dalam mendukung inklusi keuangan di Indonesia, realitasnya masih jauh dari optimal. Dibandingkan dengan fintech konvensional yang berkembang pesat, jumlah penyelenggara fintech
berbasis  prinsip syariah masih sangat terbatas. Kondisi ini menunjukkan adanya berbagai hambatan struktural dan kultural yang perlu dikaji lebih dalam.  
1. Rendahnya Literasi Keuangan dan Digital Syariah
Salah satu tantangan mendasar adalah tingkat literasi keuangan syariah yang masih rendah. Banyak masyarakat, bahkan di kalangan Muslim, belum memahami konsep dasar keuangan syariah seperti mudharabah, musyarakah, atau wakalah. Apalagi ketika konsep tersebut dikombinasikan dengan platform digital, kebingungan semakin meningkat. Hal ini menyebabkan masyarakat cenderung memilih layanan fintech konvensional yang lebih dikenal dan dianggap lebih mudah diakses. Rendahnya pemahaman ini juga menghambat daya tarik pasar terhadap produk-produk fintech syariah, yang sebenarnya menjunjung transparansi dan keadilan transaksi.  

2. Keterbatasan Dukungan Ekosistem Teknologi dan Pendanaan
Sebagian besar penyelenggara fintech syariah adalah pelaku usaha rintisan (startup) yang memiliki keterbatasan dalam akses permodalan, infrastruktur teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia. Berbeda dengan perusahaan fintech konvensional yang telah menarik banyak investor dan memiliki skala operasional lebih besar, fintech syariah sering kali terhambat dalam memperluas layanannya. Akibatnya, penetrasi pasar fintech syariah cenderung stagnan dan kurang kompetitif, meskipun prinsip yang diusung berpotensi lebih inklusif dan etis.  

3. Tantangan Regulasi dan Standarisasi Syariah
Secara regulatif, fintech syariah berada dalam posisi yang belum sepenuhnya diakomodasi oleh kebijakan yang spesifik dan memadai. Meskipun OJK dan DSN-MUI telah mengeluarkan sejumlah pedoman, masih ada kesenjangan dalam penerapan prinsip syariah secara konsisten pada produk dan sistem operasional fintech. Selain itu, belum adanya standar yang seragam mengenai sertifikasi dan pengawasan kepatuhan syariah mengakibatkan munculnya ketidakpastian di kalangan investor dan konsumen. Ketidakkonsistenan ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap keabsahan syariah dari layanan yang ditawarkan.  

4. Kompetisi dan Persepsi Pasar

Persaingan dengan fintech konvensional menjadi tantangan signifikan bagi fintech syariah. Masyarakat umum sering kali memandang fintech syariah sebagai layanan yang terlalu terbatas, birokratis, atau kurang inovatif. Citra tersebut terbentuk karena kurangnya edukasi dan sosialisasi serta minimnya strategi pemasaran berbasis nilai value-based marketing yang mengedepankan keunggulan etis dan keadilan dari sistem syariah. Jika tidak ditangani dengan tepat, persepsi negatif ini akan terus melekat dan mempersempit peluang ekspansi fintech syariah di pasar yang lebih luas.  
 5. Keterbatasan Kolaborasi dengan Lembaga Keuangan Syariah Konvensional
Fintech syariah di Indonesia juga masih minim menjalin kolaborasi strategis dengan perbankan syariah atau lembaga keuangan mikro syariah. Padahal, sinergi antara fintech dan institusi keuangan syariah konvensional dapat memperluas jaringan layanan, meningkatkan akses ke pendanaan, dan mempercepat transformasi digital di sektor syariah. Kurangnya integrasi ini justru membuat pelaku fintech syariah berjalan sendiri, sehingga memperlambat akselerasi dan daya saingnya di tengah persaingan yang semakin ketat.  

Kesimpulan dan Solusi
Fintech syariah memiliki peluang besar untuk berkembang di Indonesia, terutama karena dukungan demografis mayoritas Muslim dan meningkatnya kebutuhan akan layanan keuangan yang inklusif dan etis. Namun, realitas menunjukkan bahwa tingkat adopsi fintech syariah masih sangat rendah dibandingkan dengan fintech konvensional. Hal ini disebabkan oleh sejumlah tantangan seperti rendahnya literasi keuangan syariah, keterbatasan modal dan teknologi, regulasi yang belum optimal, serta persepsi pasar yang kurang mendukung.  

Selain itu, kurangnya kolaborasi antara pelaku fintech syariah dan lembaga keuangan syariah tradisional turut memperlambat pertumbuhan sektor ini. Jika tantangan-tantangan tersebut tidak segera diatasi, maka potensi besar fintech syariah akan sulit diwujudkan secara optimal dalam mendorong inklusi keuangan dan memperluas jangkauan layanan keuangan berbasis nilai-nilai Islam di era digital.


Penulis; Selviani, Jingga Aprilia, Salsabia Nasruddin, Nur Lina, Nur Anjelina, Muh Fairuz Al Fajri, Irawan.