"Setelah Kehilangan"
Penulis : Alesha Marteen
Jum’at, 31 Januari 2025. Akhirnya
hari itu tiba juga, hari dimana Eca memutuskan untuk mengambil waktu untuk dirinya
sendiri, betu;-betul sendirian. Kebetulan, film yang sudah ia tunggu-tunggu
sejak lama akhirnya rilis juga (tepat dihari itu, sudah hari ketiga
penayangan). Judulnya, Perayaan Mati Rasa, terinspirasi dari lagu milik Umay,
selaku founder dari Production House (PH) yang membuat film ini
juga. Rasa penasarannya akan film ini semakin memuncak ketika ia menonton trailer-nya
pertama kali, “Sialan, ini tentang keluarga. Tentang anak pertama dan Ayah,
mungkin baiknya kutonton sendirian, sekalian mengambil ruang untuk merenung”
Gumam Eca saat itu.
Setelah menunggu beberapa waktu,
akhirnya film ini tayang juga, tapi Eca tidak langsung menontonnya di hari
pertama tayang. Ia sengaja memilih tanggal terakhir di bulan Januari, agar bisa
menutup Januari dengan menghabiskan waktu sendirian dan dengan tontonan yang
sudah lama ia tunggu.
Eca memilih kursi nomor F9 waktu
itu, itu adalah spot favoritnya setiap nonton di bioskop. Malam itu, ia memilih
jam tayang terakhir, sekitar pukul 21.00. Karena itu masih hari kerja dan
rutinitasnya setiap pulang kerumah harus menemani ibu berbelanja dulu baru
boleh melakukan aktivitas yang lain. selain itu, alasan lainnya memilih jam
tayang terakhir agar, sepulang dari menonton film ia bisa menyaksikan jalan
raya yang biasanya padat menjadi sepi di tengah malam, meski tidak begitu sepi,
setidaknya tidak sepadat di pagi atau sore hari. Menurut Eca, ketika jalan
sedang sepi-sepinya, itu adalah waktu yang tepat untuk menghabiskan stok
lamunan (lebih tepatnya beban pikiran).
***
Eca berangkat ke Mall lebih
awal, sekitar pukul 19.00 sudah sampai disana. “Sesuai dengan niat, aku
ingin menikmati akhir Januari, sendirian. Rasanya menyenangkan sekali, mungkin
sebaiknya aku makan di tempat favoritku dulu ya? Untuk menambah tingkat
kebahagiaan malam ini” Batin Eca sembari menuju ke tempat makan favoritnya
itu.
Setelah makan, Eca menghabiskan
waktu tepat di samping studio 1, tempat film yang akan ia tonton tayang pada
pukul 21.00 nanti. Sembari menerka-nerka seperti apa kiranya film itu, ia
memilih untuk memperhatikan orang-orang sekitar. “Cukup beragam dan ternyata
menenangkan juga memperhatikan orang-orang yang baru saja selesai menonton film
atau mungkin sama sepertiku, sedang meneka-nerka film yang akan kita tonton.”
Eca terus bergumam, pertanda bahwa ia sangat menikmati moment ini.
Saat sedang asik memperhatikan
orang berlalu lalang, tiba-tiba saja seseorang menepuk pundaknya,
“Eca…” sapa orang itu sembari tersenyum
menatap Eca.
“Ehh.. Haiiii, Ad—nannn” Eca sedikit canggung
membalas sapaan orang itu.
Bagaimana ia tidak canggung,
seseorang yang sedang duduk disampingnya ini, yang baru saja menyapanya adalah
laki-laki yang pernah dekat dengannya. Dekat bukan hanya sebagai teman saja,
tapi lebih dari itu.
“Kamu sendirian ca?” tanya Adnan
“Ah iyaa nih, kalo kamu?” jawab Eca
“Hmmm, iya. Aku sendirian. Eh kamu
mau nonton film Perayaan Mati Rasa juga ya?” tanya Adnan lagi karena melihat Eca
sedang memegang tiket film itu
“Iya nih, sepertinya filmnya
menarik deh”
jawab Eca
“Selepas nonton, kamu ada waktu
luang tidak? Sudah lama kita tidak bertemu. Mungkin kita bisa life updated
sebentar?” tanya Adnan yang terlihat sangat senang bertemu Eca lagi setelah
sekian lama
“Boleh deh, kebetulan aku lagi gak
ada agenda apapun setelah menonton film. Apalagi besok libur, jadi bolehlah yah
untuk begadang sedikit”
jawab Eca yang masih berusaha menghilangkan rasa canggungnya itu
Tidak terasa sudah pukul 21.00,
studio dibuka dan satu persatu orang sudah mulai masuk ke studio, begitupun Eca.
Selama menonton filmnya, beberapa scene men-trigger trauma yang
dimilikinya. terlebih, saat scene Satya Antono, ayah dari Ian Antono
dinyatakan tenggelam. Perasaan itu, rasa sedih dan kehilangan itu. Membuat Eca
kembali mengingat kenangan pahit sewaktu ia masih SMA, saat dimana Ayahnya
meninggal. Menonton film ini, cukup membuka beberapa memori lamanya tentang
kehilangan
Begitu filmnya selesai, saat Eca
masih berusaha mengontrol perasaannya agar tidak terlalu terbawa oleh apa yang
baru saja ia tonton, Adnan sudah berada tepat disampingnya dan bertanya “Filmnya
bagus banget ya ca”.
“Aku jadi teringat saat Ibu
meninggal, rasanya sedih, marah, ah pokoknya campur aduk. Lalu setelahnya, Aku
jadi kehilangan arah dan….” lanjutnya
“Nan, gimana kalau kita lanjut
ngobrol ditempat lain aja?. Kan tadi udah janjian juga” potong Eca, “bukan
bermaksud tidak ingin mendengar curhatanmu nan. Hanya saja, emosiku belum
stabil” batin Eca.
***
Mereka memutuskan berbicara di
warung kopi tempat mereka biasanya berdiskusi banyak hal ketika masih
berkuliah. Setelah cukup lama berbicara, Adnan menyadari bahwa mereka belum
juga berdiskusi tentang film yang baru saja mereka tonton.
“Menurutmu bagaimana soal film tadi
ca?”
pancing Adnan, untuk memulai pembahasan mengenai film tadi
“Hmm, padahal aku sengaja tidak
membahasnya. Ternyata kamu masih ingat haha” jawab Eca sambil sedikit tertawa
“Menurutku film tadi cukup bagus.
Walaupun untuk bebarapa hal cukup membuatku pusing sih. Tapi alurnya menarik,
cukup memberi ruang untuk penontonnya memberi pemaknaan tersendiri untuk
filmnya.”
lanjut Eca yang mulai serius dengan topik yang tengah mereka bahas
“Bagian paling menyedihkan tentu
saja saat ayah Ian dinyatakan tenggelam, apalagi saat itu hubungan Ian dan
ayahnya sedang tidak baik.”
lanjutnya lagi
“Iyaaa, aku setuju. Bagian itu
pasti relate
untuk semua orang yang pernah merasakan kehilangan. Menurutku film ini juga
membantu orang-orang untuk bisa mengikhlaskan kehilangan itu” jawab Adnan,
setuju dengan pernyataan Eca.
“Ya, Ikhlas dengan kehilangan itu.
Berdamai dengan perasaan itu. Hal yang paling sulit untuk dilakukan oleh
sesiapapun yang merasakan kehilangan mendalam.” lanjut Adnan.
“Ah iya, aku setuju dengan itu
Meski perlu waktu yang tidak bisa ditentukan, bisa saja cepat atau mungkin
cukup lambat, Mengikhlaskan bukan hal yang mudah untuk dilakukan.” Eca menjawab dengan
nada yang sedikit sedih
Waktu berlalu begitu cepat, sudah
cukup malam. Mereka harus berpisah setelah berbincang mengenai banyak hal
termasuk film yang baru saja mereka tonton.
“Nan, sepertinya ini sudah cukup
larut malam. Sebaiknya aku pulang, karena sudah mulai mengantuk hehe” ucap Eca berpamitan
pada Adnan
***
Diperjalanan pulang ke
kontrakannya, Eca teringat kalimat Adnan perihal berdamai dengan kehilangan. Ia
berusaha meyakinkan dirinya, bahwa saat ini ia sudah mengikhlaskan kepergian
ayahnya.
Eca memang sudah berdamai dengan
kehilangan itu, semua itu berawal ketika ia menyadari bahwa setelah kepergian
Ayahnya, ia jauh lebih mandiri dalam banyak hal bahkan tidak melibatkan Ibunya
dengan dalih tidak ingin melihat Ibunya kepikiran atau kelelahan karenanya
Setelah menonton film dan
berdiskusi dengan Adnan, Eca baru menyadari bahwa ia sudah sejauh ini melangkah
setelah kehilangan itu.
***
Sesampainya di kontrakan, Eca
mengambil sebuah buku. Buku yang sudah lama tidak ia sentuh, buku yang berisi
curahan hatinya selama proses berdamai dengan kehilangan itu, ia membacanya
kembali. Setiap lembarnya berisi luapan emosinya.
Ia memeluk buku itu kedalam
dekapannya, ia bangga dengan dirinya sendiri yang mampu melewati fase
kehilangan itu dengan cara yang menyenangkan. Ia bangga, bahwa dirinya tidak
larut dalam kesedihan itu.
Eca sepakat dengan kalimat yang Ian
sampaikan diawal film :
“Melepaskan adalah bentuk paling
tulus dari mencintai, ternyata dengan ketulusan itu, semesta menghadiahi gue,
Perayaan Mati Rasa” - Ian Antono (Perayaan Mati Rasa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar