Jumat, 06 Juni 2025

Setelah Kehilangan

"Setelah Kehilangan"

Penulis : Alesha Marteen

Jum’at, 31 Januari 2025. Akhirnya hari itu tiba juga, hari dimana Eca memutuskan untuk mengambil waktu untuk dirinya sendiri, betu;-betul sendirian. Kebetulan, film yang sudah ia tunggu-tunggu sejak lama akhirnya rilis juga (tepat dihari itu, sudah hari ketiga penayangan). Judulnya, Perayaan Mati Rasa, terinspirasi dari lagu milik Umay, selaku founder dari Production House (PH) yang membuat film ini juga. Rasa penasarannya akan film ini semakin memuncak ketika ia menonton trailer-nya pertama kali, “Sialan, ini tentang keluarga. Tentang anak pertama dan Ayah, mungkin baiknya kutonton sendirian, sekalian mengambil ruang untuk merenung” Gumam Eca saat itu.

Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya film ini tayang juga, tapi Eca tidak langsung menontonnya di hari pertama tayang. Ia sengaja memilih tanggal terakhir di bulan Januari, agar bisa menutup Januari dengan menghabiskan waktu sendirian dan dengan tontonan yang sudah lama ia tunggu.

Eca memilih kursi nomor F9 waktu itu, itu adalah spot favoritnya setiap nonton di bioskop. Malam itu, ia memilih jam tayang terakhir, sekitar pukul 21.00. Karena itu masih hari kerja dan rutinitasnya setiap pulang kerumah harus menemani ibu berbelanja dulu baru boleh melakukan aktivitas yang lain. selain itu, alasan lainnya memilih jam tayang terakhir agar, sepulang dari menonton film ia bisa menyaksikan jalan raya yang biasanya padat menjadi sepi di tengah malam, meski tidak begitu sepi, setidaknya tidak sepadat di pagi atau sore hari. Menurut Eca, ketika jalan sedang sepi-sepinya, itu adalah waktu yang tepat untuk menghabiskan stok lamunan (lebih tepatnya beban pikiran).

***

Eca berangkat ke Mall lebih awal, sekitar pukul 19.00 sudah sampai disana. “Sesuai dengan niat, aku ingin menikmati akhir Januari, sendirian. Rasanya menyenangkan sekali, mungkin sebaiknya aku makan di tempat favoritku dulu ya? Untuk menambah tingkat kebahagiaan malam ini” Batin Eca sembari menuju ke tempat makan favoritnya itu.

Setelah makan, Eca menghabiskan waktu tepat di samping studio 1, tempat film yang akan ia tonton tayang pada pukul 21.00 nanti. Sembari menerka-nerka seperti apa kiranya film itu, ia memilih untuk memperhatikan orang-orang sekitar. “Cukup beragam dan ternyata menenangkan juga memperhatikan orang-orang yang baru saja selesai menonton film atau mungkin sama sepertiku, sedang meneka-nerka film yang akan kita tonton.” Eca terus bergumam, pertanda bahwa ia sangat menikmati moment ini.

Saat sedang asik memperhatikan orang berlalu lalang, tiba-tiba saja seseorang menepuk pundaknya,

“Eca…” sapa orang itu sembari tersenyum menatap Eca.

“Ehh.. Haiiii, Ad—nannn” Eca sedikit canggung membalas sapaan orang itu.

Bagaimana ia tidak canggung, seseorang yang sedang duduk disampingnya ini, yang baru saja menyapanya adalah laki-laki yang pernah dekat dengannya. Dekat bukan hanya sebagai teman saja, tapi lebih dari itu.

“Kamu sendirian ca?” tanya Adnan

“Ah iyaa nih, kalo kamu?” jawab Eca

“Hmmm, iya. Aku sendirian. Eh kamu mau nonton film Perayaan Mati Rasa juga ya?” tanya Adnan lagi karena melihat Eca sedang memegang tiket film itu

“Iya nih, sepertinya filmnya menarik deh” jawab Eca

“Selepas nonton, kamu ada waktu luang tidak? Sudah lama kita tidak bertemu. Mungkin kita bisa life updated sebentar?” tanya Adnan yang terlihat sangat senang bertemu Eca lagi setelah sekian lama

“Boleh deh, kebetulan aku lagi gak ada agenda apapun setelah menonton film. Apalagi besok libur, jadi bolehlah yah untuk begadang sedikit” jawab Eca yang masih berusaha menghilangkan rasa canggungnya itu

Tidak terasa sudah pukul 21.00, studio dibuka dan satu persatu orang sudah mulai masuk ke studio, begitupun Eca. Selama menonton filmnya, beberapa scene men-trigger trauma yang dimilikinya. terlebih, saat scene Satya Antono, ayah dari Ian Antono dinyatakan tenggelam. Perasaan itu, rasa sedih dan kehilangan itu. Membuat Eca kembali mengingat kenangan pahit sewaktu ia masih SMA, saat dimana Ayahnya meninggal. Menonton film ini, cukup membuka beberapa memori lamanya tentang kehilangan

Begitu filmnya selesai, saat Eca masih berusaha mengontrol perasaannya agar tidak terlalu terbawa oleh apa yang baru saja ia tonton, Adnan sudah berada tepat disampingnya dan bertanya “Filmnya bagus banget ya ca”.

“Aku jadi teringat saat Ibu meninggal, rasanya sedih, marah, ah pokoknya campur aduk. Lalu setelahnya, Aku jadi kehilangan arah dan….” lanjutnya

“Nan, gimana kalau kita lanjut ngobrol ditempat lain aja?. Kan tadi udah janjian juga” potong Eca, “bukan bermaksud tidak ingin mendengar curhatanmu nan. Hanya saja, emosiku belum stabil” batin Eca.

***

Mereka memutuskan berbicara di warung kopi tempat mereka biasanya berdiskusi banyak hal ketika masih berkuliah. Setelah cukup lama berbicara, Adnan menyadari bahwa mereka belum juga berdiskusi tentang film yang baru saja mereka tonton.

“Menurutmu bagaimana soal film tadi ca?” pancing Adnan, untuk memulai pembahasan mengenai film tadi

“Hmm, padahal aku sengaja tidak membahasnya. Ternyata kamu masih ingat haha” jawab Eca sambil sedikit tertawa

“Menurutku film tadi cukup bagus. Walaupun untuk bebarapa hal cukup membuatku pusing sih. Tapi alurnya menarik, cukup memberi ruang untuk penontonnya memberi pemaknaan tersendiri untuk filmnya.” lanjut Eca yang mulai serius dengan topik yang tengah mereka bahas

“Bagian paling menyedihkan tentu saja saat ayah Ian dinyatakan tenggelam, apalagi saat itu hubungan Ian dan ayahnya sedang tidak baik.” lanjutnya lagi

“Iyaaa, aku setuju. Bagian itu pasti relate untuk semua orang yang pernah merasakan kehilangan. Menurutku film ini juga membantu orang-orang untuk bisa mengikhlaskan kehilangan itu” jawab Adnan, setuju dengan pernyataan Eca.

“Ya, Ikhlas dengan kehilangan itu. Berdamai dengan perasaan itu. Hal yang paling sulit untuk dilakukan oleh sesiapapun yang merasakan kehilangan mendalam.” lanjut Adnan.

“Ah iya, aku setuju dengan itu Meski perlu waktu yang tidak bisa ditentukan, bisa saja cepat atau mungkin cukup lambat, Mengikhlaskan bukan hal yang mudah untuk dilakukan.” Eca menjawab dengan nada yang sedikit sedih

Waktu berlalu begitu cepat, sudah cukup malam. Mereka harus berpisah setelah berbincang mengenai banyak hal termasuk film yang baru saja mereka tonton.

“Nan, sepertinya ini sudah cukup larut malam. Sebaiknya aku pulang, karena sudah mulai mengantuk hehe” ucap Eca berpamitan pada Adnan

***

Diperjalanan pulang ke kontrakannya, Eca teringat kalimat Adnan perihal berdamai dengan kehilangan. Ia berusaha meyakinkan dirinya, bahwa saat ini ia sudah mengikhlaskan kepergian ayahnya.

Eca memang sudah berdamai dengan kehilangan itu, semua itu berawal ketika ia menyadari bahwa setelah kepergian Ayahnya, ia jauh lebih mandiri dalam banyak hal bahkan tidak melibatkan Ibunya dengan dalih tidak ingin melihat Ibunya kepikiran atau kelelahan karenanya

Setelah menonton film dan berdiskusi dengan Adnan, Eca baru menyadari bahwa ia sudah sejauh ini melangkah setelah kehilangan itu.

***

Sesampainya di kontrakan, Eca mengambil sebuah buku. Buku yang sudah lama tidak ia sentuh, buku yang berisi curahan hatinya selama proses berdamai dengan kehilangan itu, ia membacanya kembali. Setiap lembarnya berisi luapan emosinya.

Ia memeluk buku itu kedalam dekapannya, ia bangga dengan dirinya sendiri yang mampu melewati fase kehilangan itu dengan cara yang menyenangkan. Ia bangga, bahwa dirinya tidak larut dalam kesedihan itu.

Eca sepakat dengan kalimat yang Ian sampaikan diawal film :

“Melepaskan adalah bentuk paling tulus dari mencintai, ternyata dengan ketulusan itu, semesta menghadiahi gue, Perayaan Mati Rasa” - Ian Antono (Perayaan Mati Rasa)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar