Selasa, 20 Mei 2025

ISLAMIC BANKING OUTDOR STUDY 2025


 Opini terakhir dari kelompok lima membahas terkait;

"Tantangan Adopsi Fintech Syariah di Indonesia"


Perkembangan teknologi digital telah mendorong transformasi signifikan di sektor keuangan global, termasuk di Indonesia, melalui kehadiran financial technology (Fintech), Salah satu bentuk inovasi yang berkembang dalam ekosistem fintech nasional adalah fintech syariah, yaitu layanan keuangan digital yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah seperti keadilan, transparansi, dan larangan riba. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan fintech syariah. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa adopsi fintech syariah masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks.  

Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa jumlah penyelenggara fintech peer-to-peer(P2P lending) berbasis syariah yang terdaftar dan berizin masih sangat terbatas dibandingkan dengan total pelaku industri fintech lending di Indonesia. Minimnya pelaku ini mengindikasikan rendahnya tingkat adopsi fintech syariah dibandingkan fintech konvensional. Salah satu tantangan utamanya adalah rendahnya literasi masyarakat mengenai keuangan syariah, terutama dalam konteks digital. Banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan mendasar antara produk fintech konvensional dan syariah, sehingga belum menjadikan fintech syariah sebagai pilihan utama.  

Selain itu, tantangan lainnya mencakup keterbatasan modal dan kapasitas teknologi dari penyelenggara fintech syariah. kurangnya kolaborasi antara industri dan lembaga keuangan syariah tradisional, serta regulasi yang dinilai belum sepenuhnya mendukung inovasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Di sisi lain, standar sertifikasi dan pengawasan dari lembaga syariah juga belum merata pada semua platform fintech syariah yang ada. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi dan mengkaji berbagai hambatan dalam adopsi fintech syariah di Indonesia. Kajian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi strategi pengembangan ekosistem fintech syariah yang lebih inklusif, berdaya saing, dan sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.  
 
Tantangan Adopsi Fintech Syariah

Meskipun fintech syariah memiliki potensi besar dalam mendukung inklusi keuangan di Indonesia, realitasnya masih jauh dari optimal. Dibandingkan dengan fintech konvensional yang berkembang pesat, jumlah penyelenggara fintech
berbasis  prinsip syariah masih sangat terbatas. Kondisi ini menunjukkan adanya berbagai hambatan struktural dan kultural yang perlu dikaji lebih dalam.  
1. Rendahnya Literasi Keuangan dan Digital Syariah
Salah satu tantangan mendasar adalah tingkat literasi keuangan syariah yang masih rendah. Banyak masyarakat, bahkan di kalangan Muslim, belum memahami konsep dasar keuangan syariah seperti mudharabah, musyarakah, atau wakalah. Apalagi ketika konsep tersebut dikombinasikan dengan platform digital, kebingungan semakin meningkat. Hal ini menyebabkan masyarakat cenderung memilih layanan fintech konvensional yang lebih dikenal dan dianggap lebih mudah diakses. Rendahnya pemahaman ini juga menghambat daya tarik pasar terhadap produk-produk fintech syariah, yang sebenarnya menjunjung transparansi dan keadilan transaksi.  

2. Keterbatasan Dukungan Ekosistem Teknologi dan Pendanaan
Sebagian besar penyelenggara fintech syariah adalah pelaku usaha rintisan (startup) yang memiliki keterbatasan dalam akses permodalan, infrastruktur teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia. Berbeda dengan perusahaan fintech konvensional yang telah menarik banyak investor dan memiliki skala operasional lebih besar, fintech syariah sering kali terhambat dalam memperluas layanannya. Akibatnya, penetrasi pasar fintech syariah cenderung stagnan dan kurang kompetitif, meskipun prinsip yang diusung berpotensi lebih inklusif dan etis.  

3. Tantangan Regulasi dan Standarisasi Syariah
Secara regulatif, fintech syariah berada dalam posisi yang belum sepenuhnya diakomodasi oleh kebijakan yang spesifik dan memadai. Meskipun OJK dan DSN-MUI telah mengeluarkan sejumlah pedoman, masih ada kesenjangan dalam penerapan prinsip syariah secara konsisten pada produk dan sistem operasional fintech. Selain itu, belum adanya standar yang seragam mengenai sertifikasi dan pengawasan kepatuhan syariah mengakibatkan munculnya ketidakpastian di kalangan investor dan konsumen. Ketidakkonsistenan ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap keabsahan syariah dari layanan yang ditawarkan.  

4. Kompetisi dan Persepsi Pasar

Persaingan dengan fintech konvensional menjadi tantangan signifikan bagi fintech syariah. Masyarakat umum sering kali memandang fintech syariah sebagai layanan yang terlalu terbatas, birokratis, atau kurang inovatif. Citra tersebut terbentuk karena kurangnya edukasi dan sosialisasi serta minimnya strategi pemasaran berbasis nilai value-based marketing yang mengedepankan keunggulan etis dan keadilan dari sistem syariah. Jika tidak ditangani dengan tepat, persepsi negatif ini akan terus melekat dan mempersempit peluang ekspansi fintech syariah di pasar yang lebih luas.  
 5. Keterbatasan Kolaborasi dengan Lembaga Keuangan Syariah Konvensional
Fintech syariah di Indonesia juga masih minim menjalin kolaborasi strategis dengan perbankan syariah atau lembaga keuangan mikro syariah. Padahal, sinergi antara fintech dan institusi keuangan syariah konvensional dapat memperluas jaringan layanan, meningkatkan akses ke pendanaan, dan mempercepat transformasi digital di sektor syariah. Kurangnya integrasi ini justru membuat pelaku fintech syariah berjalan sendiri, sehingga memperlambat akselerasi dan daya saingnya di tengah persaingan yang semakin ketat.  

Kesimpulan dan Solusi
Fintech syariah memiliki peluang besar untuk berkembang di Indonesia, terutama karena dukungan demografis mayoritas Muslim dan meningkatnya kebutuhan akan layanan keuangan yang inklusif dan etis. Namun, realitas menunjukkan bahwa tingkat adopsi fintech syariah masih sangat rendah dibandingkan dengan fintech konvensional. Hal ini disebabkan oleh sejumlah tantangan seperti rendahnya literasi keuangan syariah, keterbatasan modal dan teknologi, regulasi yang belum optimal, serta persepsi pasar yang kurang mendukung.  

Selain itu, kurangnya kolaborasi antara pelaku fintech syariah dan lembaga keuangan syariah tradisional turut memperlambat pertumbuhan sektor ini. Jika tantangan-tantangan tersebut tidak segera diatasi, maka potensi besar fintech syariah akan sulit diwujudkan secara optimal dalam mendorong inklusi keuangan dan memperluas jangkauan layanan keuangan berbasis nilai-nilai Islam di era digital.


Penulis; Selviani, Jingga Aprilia, Salsabia Nasruddin, Nur Lina, Nur Anjelina, Muh Fairuz Al Fajri, Irawan.

ISLAMIC BANKIG OUTDOR STUDY 2025

 


Opini lain dari kelompok  keempat yang membahas terkait;

"Memperkuat Ketahanan Ekonomi Umat Dalam Menghadapi Inflasi"

Inflasi adalah kondisi di mana harga barang dan jasa mengalami kenaikan secara umum dan berlangsung terus-menerus. Namun, yang sering dilupakan oleh masyarakat adalah bahwa inflasi tidak hanya berkaitan dengan kenaikan harga, tetapi juga menyangkut pelemahan daya beli. Ketika harga naik sementara penghasilan tetap, maka nilai uang menurun—artinya jumlah barang yang bisa dibeli dengan jumlah uang yang sama menjadi lebih sedikit. Inilah yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun apalagi terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan tetap atau rendah.Inflasi juga bisa membuat nilai tabungan menurun,karena uang yang di simpan hari ini akan memiliki daya beli yang rendah di masa depan.

Secara sederhana, saat harga barang naik, permintaan dari konsumen cenderung menurun. Nilai uang menjadi melemah, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat, terutama kebutuhan pokok, menjadi semakin sulit. Inflasi berdampak lebih besar pada masyarakat berpenghasilan rendah. Kenaikan harga yang terus-menerus membuat kebutuhan dasar, seperti makanan pokok, menjadi sulit dijangkau. Akibatnya, kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar menurun dan angka kemiskinan dapat meningkat. Salah satu penyebab lemahnya ketahanan masyarakat dalam menghadapi inflasi adalah rendahnya literasi keuangan syariah. Kurangnya pemahaman terhadap prinsip-prinsip keuangan syariah menyebabkan masyarakat lebih bergantung pada sistem keuangan konvensional berbasis riba, yang justru bisa memperburuk kondisi ekonomi umat.

Sebagai bentuk upaya, pemerintah telah menerapkan kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi. Di sisi lain, sistem keuangan syariah juga perlu dioptimalkan untuk menciptakan perlindungan ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Salah satu langkah penting adalah memperkuat literasi masyarakat tentang keuangan syariah. Keuangan syariah tidak hanya menjadi simbol keagamaan, tetapi juga harus hadir sebagai solusi nyata dan adil dalam menghadapi permasalahan ekonomi, termasuk inflasi.

Penulis: Sinar Wulandari
Editor: Muh Darul Ihsan

ISLAMIC BANKING OUTDOR STUDY 2025

 


Opini dari kelompok ketiga membahas terkait;

"Penghapusan Uang Tunai dan Literasi Keuangan Di Indonesia"

Perkembangan teknologi digital telah mendorong perubahan besar dalam sistem pembayaran global, termasuk di Indonesia. Salah satu tren yang semakin menguat adalah pengurangan uang tunai (cashless society) dan transisi menuju sistem pembayaran digital. Pemerintah indonesia, melalui Bank Indonesia, secara aktif mendorong digitalisasi sistem pembayaran, termasuk melalui program Gerakan Nasional Non Tunai dan implementasi QRIS. Menurut data Bank Indonesia, hingga Desember 2023, jumlah pengguna QRIS telah mencapai lebih dari 45 juta dengan volume transaksi menembus Rp 197 triliun, meningkat tajam dari tahun sebelumnya.

Namun, meskipun pertumbuhan transaksi digital terlihat signifikan, tantangan besar masih membayangi, terutama terkait literasi keuangan dan kesenjangan akses digital. Berdasarkan survei Otoritas Jasa Keuangan tahun 2022, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 49,68%, meskipun tingkat inklusi keuangan sudah sebesar 85,10%. Artinya, sebagian besar masyarakat sudah memiliki akses ke layanan keuangan, namun belum sepenuhnya memahami cara mengelola dan menggunakan layanan tersebut secara bijak.

Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman yang cukup serius di tengah percepatan digitalisasi, yang berpotensi menimbulkan berbagai risiko, seperti penipuan digital, penyalahgunaan data, hingga overkredit pada layanan pinjaman daring. Di sisi lain, masyarakat di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) masih menghadapi tantangan infrastruktur yang menghambat adopsi sistem pembayaran digital secara merata. Oleh karena itu, penting untuk membahas secara mendalam tantangan-tantangan yang dihadapi indonesia dalam proses penghapusan uang tunai, serta urgensi peningkatan literasi keuangan sebagai fondasi utama menuju masyarakat digital yang inklusif dan berkelanjutan.

Perkembangan teknologi digital mendorong tren global menuju masyarakat tanpa uang tunai (cashless society). Indonesia pun tidak luput dari arus ini, dengan pemerintah dan Bank Indonesia mendorong penggunaan transaksi digital seperti QRIS, mobile banking, dan e-wallet. Namun, upaya penghapusan uang tunai di Indonesia bukan tanpa tantangan, terutama karena rendahnya literasi keuangan di sebagian besar populasi 

1.      Ketimpangan Akses dan Infrastruktur Digital

Meskipun kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya sudah relatif familiar dengan sistem pembayaran digital, realitas di daerah terpencil sangat berbeda. Masih banyak wilayah di Indonesia yang belum memiliki akses internet yang stabil atau infrastruktur pendukung digital yang memadai. Menghapus uang tunai dalam konteks ini justru dapat memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi.

2.      Rendahnya Literasi Keuangan dan Digital

Data OJK tahun 2022 menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai sekitar 49,68%. Ini artinya, lebih dari separuh masyarakat belum memiliki pemahaman yang cukup tentang pengelolaan uang, apalagi penggunaan teknologi finansial. Tanpa pemahaman ini, peralihan ke sistem non-tunai dapat menimbulkan kebingungan, penipuan, dan potensi penyalahgunaan data pribadi.

3.      Kecenderungan Masyarakat terhadap Uang Tunai

Kebiasaan menggunakan uang tunai masih sangat melekat, terutama di kalangan masyarakat lansia, pelaku usaha mikro, dan komunitas di daerah rural. Uang tunai dianggap lebih nyata, mudah dikontrol, dan tidak bergantung pada jaringan atau teknologi. Kepercayaan terhadap sistem digital juga masih menjadi masalah besar karena kekhawatiran akan kebocoran data dan keamanan transaksi.

4.      Potensi Keuangan Inklusif yang Belum Maksimal

Salah satu argumen mendukung cashless society adalah inklusi keuangan. Namun jika masyarakat tidak dibekali dengan literasi keuangan yang cukup, inklusi bisa berubah menjadi eksklusi. Orang-orang yang tidak paham atau tidak memiliki akses ke layanan digital akan semakin terpinggirkan.

5.      Peran Pemerintah dan Lembaga Keuangan

Pemerintah dan sektor swasta harus berjalan beriringan untuk menjembatani kesenjangan ini. Edukasi literasi keuangan dan digital harus menjadi program yang masif dan berkelanjutan. Penyedia layanan keuangan juga harus menyediakan produk yang msudah digunakan, transparan, dan disesuaikan dengan kebutuhan msyarakat akar rumput.

Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok telah mengalami dua fenomena besar yang menarik perhatian dunia: pergeseran menuju masyarakat tanpa uang tunai dan serangkaian gempa bumi dahsyat. Kedua peristiwa ini tidak hanya memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Tiongkok, tetapi juga memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, dalam menghadapi tantangan serupa.

Tiongkok telah menjadi pelopor dalam adopsi pembayaran digital, dengan platform seperti Alipay dan WeChat Pay yang mendominasi transaksi harian. Namun, dominasi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap eksklusi finansial, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia dan penduduk pedesaan yang kurang melek teknologi. Sebagai respons, pemerintah Tiongkok mulai memperlambat transisi menuju masyarakat tanpa uang tunai dan menegakkan hukum yang mewajibkan penerimaan uang tunai di semua transaksi. Langkah ini mencerminkan upaya untuk menjaga inklusi finansial di tengah kemajuan teknologi. Di sisi lain, Tiongkok juga menghadapi serangkaian gempa bumi besar yang menguji ketahanan infrastruktur dan sistem daruratnya. Gempa di Tibet pada Januari 2025, misalnya, menewaskan lebih dari 120 orang dan menyebabkan ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal. Kejadian ini menyoroti pentingnya kesiapan sistem pembayaran dan distribusi bantuan yang dapat berfungsi bahkan ketika infrastruktur fisik rusak. Dalam konteks ini, ketergantungan pada sistem pembayaran digital yang memerlukan konektivitas internet dan listrik menjadi tantangan. Gempa bumi dapat merusak jaringan komunikasi dan listrik, membuat sistem pembayaran digital tidak dapat digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi membawa kemudahan, keberadaan uang tunai tetap penting sebagai cadangan dalam situasi darurat.

Indonesia, yang juga berada di wilayah rawan gempa, dapat mengambil pelajaran dari pengalaman Tiongkok. Meskipun pemerintah Indonesia mendorong penggunaan pembayaran digital melalui Gerakan Nasional Non Tunai, penting untuk memastikan bahwa transisi ini tidak meninggalkan kelompok masyarakat yang belum siap. Data menunjukkan bahwa pada 2019, tingkat literasi keuangan di Indonesia masih rendah, dengan hanya sekitar 29,7% masyarakat yang memiliki pemahaman keuangan yang memadai. Untuk mengatasi hal ini, Otoritas Jasa Keuangan meluncurkan Gerakan Nasional Literasi Keuangan (GENCARKAN) yang bertujuan meningkatkan literasi keuangan di seluruh Indonesia, termasuk di wilayah timur seperti Sulawesi Selatan. Program ini melibatkan edukasi kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta masyarakat umum tentang pentingnya pengelolaan keuangan dan penggunaan layanan keuangan digital.

Namun, tantangan tetap ada. Banyak masyarakat Indonesia, terutama di daerah terpencil, masih menghadapi keterbatasan akses terhadap infrastruktur digital dan pendidikan keuangan. Oleh karena itu, pendekatan yang inklusif dan bertahap diperlukan untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat berpartisipasi dalam ekosistem keuangan digital. Selain itu, penting bagi Indonesia untuk mempertahankan sistem pembayaran yang dapat berfungsi dalam kondisi darurat. Pengalaman Tiongkok menunjukkan bahwa ketergantungan penuh pada sistem digital dapat menjadi kelemahan saat terjadi bencana alam. Oleh karena itu, keberadaan uang tunai sebagai alternatif tetap harus dijaga dan didukung oleh kebijakan yang memastikan penerimaannya di semua sektor.

Dalam jangka panjang, Indonesia perlu membangun sistem keuangan yang tangguh dan inklusif, yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi sekaligus mempertahankan aksesibilitas bagi semua. Hal ini mencakup investasi dalam infrastruktur digital, pendidikan keuangan, dan kebijakan yang mendukung inklusi finansial. Dengan mengambil pelajaran dari Tiongkok, Indonesia dapat mengembangkan strategi yang seimbang antara inovasi teknologi dan inklusi sosial. Pendekatan ini akan memastikan bahwa transformasi digital dalam sektor keuangan dapat memberikan manfaat maksimal bagi seluruh masyarakat, sekaligus meminimalkan risiko eksklusi dan kerentanan dalam menghadapi bencana.

Sebagai kesimpulan, penghapusan uang tunai di Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama rendahnya literasi keuangan dan ketimpangan akses digital. Untuk menjawab hal ini, solusi-solusi yang dapat diterapkan yaitu Penerapan sistem pembayaran hybrid, perluasan infrastruktur digital nasional, literasi keuangan berbasis komunitas dan teknologi, platform keuangan ramah UMKM dan lansia, regulasi wajib terima uang tunai, insentif transaksi digital terukur dan simulasi kesiapan sistem pembayaran saat bencana.


Penulis: Sitti Aisyah Kahar, Linda Nur Fadilah, Lilis alisa, Syahrini, A. Nur Khusnul Khatimah, Ila Nabila, Syukran Rustam, Ahmad Naufal (para peserta kegiatan Islamic Banking Outdoor Study 2025 kelompok 3)

Editor: Sitti Aisyah Kahar

HARMONI DALAM SILATURAHMI DAN BERSINERGI DALAM PERBANKAN SYARIAH

 

Dari kegiatan IBOS kemarin pada kelompok kedua mengangkat opini terkait;

"Persaingan Qris dan Master Card"

Qris merupakan pembayaran non tunai yang bisa di gunakan oleh seluruh masyarakat dan Qris juga bertujuan mendorong ekonomi non tunai yang inklusif. Hal ini dapat mempermudah transaksi karena masyarakat tidak perlu membawa dompet dan hanya membutuhkan ponsel dan koneksi internet, serta qris juga dapat mengurangi ketergantungan terhadap uang tunai dan mencegah adanya penyebaran uang palsu. 

Qris juga memiliki kelebihan dalam hal biaya transaksi yang lebih rendah dibandingkan dengan Master Card. Selain itu, qris juga lebih mudah  digunakan dan tidak memerlukan mesin ATM. Sedangkan credit card memiliki kelebihan dalam hal fleksibilitas pembayaran dan kemampuan untuk melakukan transaksi di luar negeri. Jadi, secara keseluruhan qris lebih unggul dalam transaksi biaya rendah untuk harian, terutama bagi UMKM dan masyarakat luas. Sementara itu kartu kredit tetap menjadi pilihan kuat untuk transaksi bernilai besar, dan memanajemen kan keuangan yang lebih fleksibel.

Meskipun qris mudah digunakan, adapun sebagaian masyarakat terutama dibagian pelosok atau generasi yang lebih tua mungkin belum mengenal dengan teknologi pembayaran digital, serta ada pun sebagian sistem pembayaran digital qris sangat bergantung pada ketersediaan dan kestabilan internet tetapi di daerah dengan infrastruktur jaringan yang kurang memadai tidak dapat menggunakan sistem qris tersebut. Sedangkan mastercard meskipun kuat adapun aspek yang menjadi pertimbangan seperti masalah smartcard di daerah bagian pedalaman jika saldo dalam mastercard habis sehingga sulit mencari tempat convert uang menjadi saldo, dan kurang nya akses untuk ke bank.

Selain itu, solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan keterbatasan jaringan yang berada di pelosok yaitu pembangunan infrastruktur tambahan untuk mendukung jaringan. Jika jaringan lemot, sekarang sudah dikenal dengan qris statis cuma hal ini masih menjadi uji coba di kalangan masyarakat. Jadi solusi yang paling ampuh ada dukungan pembangunan infrastruktur jaringan(tower). Sedangkan solusi yang bisa dilakukan pada mastercard yaitu, membangunkan kios atau mitra isi ulang keliling, contoh nya seperti agen-agen dan BRI LINK.


Penulis: Aflah Olivia Agustin, Aina Zaldira, Febrian Hidayatullah, Indri Agustin, Yuli ahnilla, Usman Paing, Salsabillah, Ardiani ardin, Khusnul khatimah (Peserta Kegiatan Islamic Banking 2025 Dari Kelompok 2)

HARMONI DALAM SILATURAHMI DAN BERSINERGI DALAM PERBANKAN SYARIAH (IBOS 2025)

 



Dari kegiatan IBOS yang diadakan oleh HMJ-PBS ada beberapa opini yang dituliskan oleh setiap anggota kelompok. Pada opini pertama dituliskan langsung oleh kelompok pertama yaitu mereka mengangkat opini mengenai;

 "Memahami Perkembangan Literasi Keuangan Syariah dari Masa ke Masa serta Mendiskusikan Potensi, Solusi, dan Strategi untuk Tantangan Tersebut"

Keuangan syariah di Indonesia bukanlah sekadar alternatif sistem keuangan, melainkan manifestasi dari prinsip ekonomi Islam yang menyeimbangkan antara keadilan sosial, nilai spiritual, dan efisiensi ekonomi. Perjalanan literasi keuangan syariah di Indonesia merupakan narasi panjang tentang transformasi sosial, edukasi masyarakat, dan adaptasi terhadap perubahan zaman. Dari hanya sebatas pemahaman normatif atas larangan riba dan keharusan akad yang halal, kini keuangan syariah telah menjelma menjadi sektor industri yang dinamis, kompleks, dan sarat tantangan global.

 Pada fase awal perkembangannya, literasi masyarakat terhadap keuangan syariah masih sangat minim. Sebagian besar pemahaman masyarakat hanya sebatas penghindaran terhadap riba dalam transaksi sehari-hari tanpa memahami bagaimana prinsip-prinsip syariah dapat diwujudkan dalam sistem perbankan dan keuangan. Momentum kebangkitan dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada awal tahun 1990-an, yang menjadi tonggak penting dalam sejarah keuangan syariah nasional. Kendala pada masa itu respons masyarakat masih terbatas dan skeptisisme tinggi, kehadiran bank ini menjadi titik awal edukasi publik mengenai operasional sistem keuangan yang berbasis prinsip syariah.

 Seiring masuknya era reformasi dan globalisasi pada awal 2000-an, ekosistem keuangan syariah mulai menemukan momentumnya. Pemerintah dan otoritas keuangan melibatkan diri secara aktif dalam merumuskan regulasi yang mendukung perkembangan industri ini. Edukasi dan sosialisasi mulai dijalankan melalui lembaga pendidikan, forum akademik, hingga media massa. Pengetahuan masyarakat tidak lagi sebatas penghindaran terhadap praktik riba, melainkan mulai merambah ke aspek teknis seperti akad murabahah, ijarah, mudharabah, hingga sukuk. Ini merupakan perkembangan penting dalam proses peningkatan literasi yang menunjukkan adanya pergeseran dari pemahaman normatif ke pemahaman aplikatif.

Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan bahwa pada tahun 2022, total aset industri keuangan syariah Indonesia telah mencapai angka fantastis Rp 2.735,84 triliun, meningkat 15,87% dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor pasar modal syariah menyumbang sekitar 60% dari keseluruhan aset, diikuti oleh perbankan syariah yang menguasai pangsa pasar sebesar 33,77%. Sementara itu, sektor Industri Keuangan NonBank Syariah tumbuh pesat sebesar 20,88%. Angka-angka ini bukan hanya mencerminkan pertumbuhan finansial, tetapi juga menjadi indikator meningkatnya partisipasi masyarakat dan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan berbasis syariah. Namun, keberhasilan kuantitatif ini belum sepenuhnya mencerminkan kualitas pemahaman dan literasi masyarakat terhadap nilai-nilai fundamental keuangan syariah.

Perkembangan pesat ini tidak lepas dari tantangan yang kompleks dan multidimensional. Salah satu tantangan serius yang mencoreng kepercayaan publik terhadap institusi keuangan syariah adalah insiden kebocoran data nasabah Bank Syariah Indonesia (BSI) pada Mei 2023. Serangan siber yang dilakukan kelompok ransomware LockBit 3.0 berdampak besar terhadap lebih dari 15 juta nasabah dan pegawai. Kebocoran data pribadi seperti nama, nomor telepon, alamat, hingga saldo rekening dan riwayat transaksi menimbulkan kegelisahan dan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap keamanan layanan digital perbankan syariah. Gangguan terhadap layanan ATM dan mobile banking selama sepekan menjadi bukti konkret bahwa keamanan siber merupakan tantangan nyata dalam era digitalisasi industri keuangan syariah.

Di tengah tantangan ini, masyarakat semakin menuntut institusi keuangan syariah untuk tidak hanya mematuhi prinsip-prinsip fiqhiyah, tetapi juga unggul secara teknologi dan regulasi. Literasi masyarakat terhadap prinsip keamanan data, penggunaan teknologi finansial syariah (fintech), serta perlindungan konsumen menjadi semakin mendesak untuk ditingkatkan. Maka dari itu, pendekatan literasi keuangan syariah tidak bisa lagi bersifat linear dan sempit. Ia harus holistik, mencakup aspek religius, teknologis, regulatif, dan sosiologis.

Untuk merespons tantangan tersebut, langkah pertama yang harus diambil adalah mengarusutamakan edukasi keuangan syariah secara sistemik dan berkelanjutan. Literasi keuangan syariah perlu diperkenalkan sejak usia dini melalui kurikulum pendidikan formal dan informal. Dalam konteks ini, media sosial, kanal YouTube, dan platform digital memiliki peran penting sebagai media diseminasi pengetahuan yang menarik dan mudah dipahami. Edukasi tidak boleh bersifat dogmatis, melainkan harus disesuaikan dengan konteks kehidupan masyarakat modern yang dinamis dan kritis.

Selanjutnya, penguatan regulasi dan pengawasan juga menjadi kunci penting dalam menjaga integritas industri keuangan syariah. Regulasi yang tegas namun adaptif akan menjamin bahwa prinsip-prinsip syariah tetap dijaga di tengah derasnya arus inovasi. Dalam hal ini, peran OJK, Bank Indonesia, dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) perlu diperkuat agar memiliki kapasitas dan independensi dalam mengawasi praktik lembaga keuangan syariah secara menyeluruh.

Inovasi teknologi juga harus terus didorong agar produk-produk keuangan syariah tetap relevan dan kompetitif. Digitalisasi layanan, pengembangan fintech syariah, serta pemanfaatan blockchain dalam akad-akad syariah berpotensi memperluas akses masyarakat terhadap layanan keuangan yang aman dan transparan. Namun, inovasi ini harus dibarengi dengan penguatan keamanan digital serta peningkatan kemampuan masyarakat dalam memahami dan mengelola risiko digital.

Tidak kalah penting, penguatan sumber daya manusia di bidang keuangan syariah merupakan investasi jangka panjang yang harus dilakukan. Lahirnya tenaga profesional yang tidak hanya paham terhadap prinsip syariah tetapi juga menguasai manajemen keuangan modern akan mendorong efisiensi dan kualitas pelayanan. Di sisi lain, kolaborasi antara lembaga keuangan syariah dan konvensional dapat memperluas akses dan mempercepat transfer teknologi, selama nilai-nilai inti syariah tidak dikompromikan.

Pembangunan infrastruktur pasar yang mendukung pengembangan produk-produk syariah, seperti sukuk retail, reksadana syariah, serta layanan mikro syariah di daerah tertinggal, juga menjadi bagian integral dari strategi penguatan ekosistem keuangan syariah. Literasi keuangan syariah tidak akan berkembang jika infrastruktur layanan masih terpusat di kotakota besar dan tidak menjangkau masyarakat akar rumput.

Di atas semua itu, kepercayaan publik adalah fondasi utama dari keberlanjutan industri keuangan syariah. Transparansi operasional, akuntabilitas lembaga, serta komunikasi yang terbuka dan empatik dengan nasabah merupakan instrumen penting dalam membangun reputasi dan loyalitas masyarakat. Sekali kepercayaan hilang, seluruh fondasi yang telah dibangun selama puluhan tahun bisa runtuh dalam sekejap. Oleh karena itu, integritas dan komitmen pada nilai-nilai syariah harus menjadi ruh dari setiap inovasi dan kebijakan yang diambil.

Sebagai penutup, literasi keuangan syariah bukanlah sekadar upaya meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan berbasis syariah, melainkan merupakan agenda strategis untuk mewujudkan keadilan ekonomi, kemandirian umat, dan pembangunan bangsa yang berkelanjutan. Perjalanan panjang ini harus terus dilanjutkan dengan sinergi antara pemerintah, lembaga keuangan, akademisi, masyarakat, dan media. Tantangan memang besar, tetapi potensi yang dimiliki Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menjadi modal utama untuk menjadikan negeri ini sebagai pusat keuangan syariah global yang bermartabat, modern, dan inklusvitas. 


Penulis: St. Rahmawati Syafnur, Andi Tasya Syawalia, Amanda Novita, Deviyanti Indriani, Nurwahda Aulia Rifka, Anggreani Sudirman, Muh Ahwan Al Wahda, Faisal (para peserta kegiatan Islamic Banking Outdoor Study 2025 kelompok 1)
Editor: St Rahmawati Syafnur

HARI KEBANGKITAN NASIONAL

Bangkitkan Kembali Fungsi-Fungsi yang Hilang!

Tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional—sebuah momen penting dalam sejarah bangsa, sekaligus menjadi pengingat akan lahirnya lumbung perjuangan dari organisasi Budi Utomo. Hari ini, 20 Mei 2025, semestinya menjadi waktu refleksi untuk membangkitkan kembali fungsi-fungsi penting yang telah lama hilang dalam kehidupan berbangsa.

Salah satu fungsi yang layak disoroti adalah fungsi utama organisasi kemahasiswaan. Dahulu, organisasi mahasiswa adalah ruang lahirnya para pejuang; tempat berkumpulnya pikiran-pikiran kritis yang memperjuangkan hak-hak manusia, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat. Namun kini, fungsinya mulai bergeser. Seperti yang dikatakan dalam sebuah kutipan tajam:

"Organisasi hari ini beralih fungsi. Yang dulunya menjadi tempat berkumpulnya para pejuang, kini lebih banyak memperjuangkan proposal demi mendapatkan ACC untuk menyelenggarakan kegiatan."

Inilah ironi besar yang harus kita sadari dan evaluasi. Momentum Hari Kebangkitan Nasional seharusnya menjadi pengingat akan pentingnya menghidupkan kembali semangat perjuangan dalam bentuknya yang relevan hari ini.

Sejalan dengan tema Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, "Bangkit Bersama, Wujudkan Indonesia Kuat", kita berharap para pemangku kebijakan turut mengambil peran aktif. Namun realitasnya, bukan semangat kolaboratif yang tercermin, justru rakyatlah yang terus-menerus harus mengingatkan mereka. Fungsi kontrol dan pengawasan yang seharusnya menjadi refleksi bersama malah berubah menjadi beban sepihak di pundak masyarakat sipil.

Inilah yang menjadi sorotan utama: fungsi-fungsi yang hilang, baik dalam organisasi mahasiswa maupun dalam tata kelola negara. Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar seremoni, melainkan panggilan untuk mengembalikan ruh perjuangan, menata ulang orientasi, dan berjalan bersama—rakyat dan pemimpin—untuk mewujudkan Indonesia yang lebih berwajah, lebih manusiawi, dan benar-benar kuat.


Penulis:_fajrii

Kamis, 01 Mei 2025

HARI BURUH

 HAK YANG DIPERJUANGKAN

Sebuah hak yang tak kunjung dikabulkan, bahkan dibungkam. 1 Mei adalah Hari Buruh—simbol perjuangan hak-hak pekerja. 2 Mei adalah Hari Pendidikan Nasional—momen untuk merayakan hak atas pendidikan, sekaligus mengingatkan: kepada siapa hak itu seharusnya diberikan?

Namun, dunia pendidikan kita belum sembuh.Kurikulum berganti setiap kali pemimpin berganti, seolah hanya menjadi alat politik, bukan alat pendidikan. Belum terlihat bukti konkret dari implementasi kurikulum-kurikulum tersebut. Muncul kebijakan "Efisiensi" menjadi wabah baru, menjadi jargon kebijakan, namun dampaknya justru memiskinkan mutu pendidikan.

Efisiensi bukan lagi sekadar istilah. Ini adalah kenyataan: terkatung-katung tanpa kejelasan kemana dan apa tujuan dari efisiensi itu.

"Efisiensi" bahkan menjelma jadi pemotongan hak bagi dunia pendidikan. Dana yang seharusnya untuk kegiatan positif mendadak nihil—Rp. 0. Tidak jelas, apakah ini ulah oknum yang bermain di balik layar, atau ini murni kebijakan pemerintah? Tidak ada transparansi, tidak ada kenjelasan.

Tenaga pendidik honorer yang tak kunjung di bayarkan upahnya yang kemudian tak mampu menopang kehidupannya. Di sisi lain anak yang mendapat makan gratis dari program pemerintah namun biaya sekolah yang tak sejalan dengan perekonomian keluarganya. Ini sebuah bentuk fenomena yang cukup unik.

Maka, ke mana hak-hak yang seharusnya diperjuangkan itu? Apakah kita akan terus diam, membiarkan wabah "efisiensi" ini mencekik kita perlahan? Atau kita harus melawan? Satu kata yang ambigu.

Dalam Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire menulis bahwa budaya penindasan tidak akan hilang dengan sendirinya. Mungkin karena mereka yang pernah tertindas, saat memegang kuasa, justru mengulang pola penindasan itu. Apakah ini bagian dari kultur tirani yang diwariskan, dari satu penguasa ke penguasa berikutnya?

Penulis: _fajrii

SUARA YANG TAK TERDENGAR


        SUARA YANG TAK TERDENGAR Adalah bentuk nyata dari hilangnya nilai-nilai demokrasi.
1 Mei—hari di mana suara itu seharusnya didengarkan. Banyak variabel bisa digunakan untuk penyampaikan suara-suara tersebut. Dalam buku Rekayasa Sosial, dijelaskan bahwa salah satu variabel terkuat adalah turun langsung ke jalan: menyuarakan kebenaran, memperjuangkan hak.
Hari ini, Makassar memanggil!! Kaum buruh, mahasiswa, dan seluruh elemen masyarakat seharusnya turun ke jalan!
Walaupun di era 5.0, frame media menjadi wadah baru penyampaian aspirasi yang tak bisa diabaikan. Meski begitu, suara-suara yang ingin disampaikan sering kali dihadapkan pada berbagai hambatan. Dalam setiap seruan aksi memperingati Hari Buruh Nasional, massa aksi kerap dibenturkan dengan tembok penguasa dipukuli, diintimidasi, bahkan diamankan ke markas besar mereka. Ini bukan penggiringan opini negatif, ini adalah fakta nyata di lapangan.
Tembok-tembok pekuasaan yang katanya “mengayomi masyarakat” justru menjadi musuh dalam selimut. Ini adalah representasi dari hilangnya nilai bahkan matinya demokrasi itu sendiri.
Ironisnya, sebagian masyarakat yang memanggul titel sebagai buruh justru menjadi apatis terhadap hak-hak mereka sendiri. Di sisi lain, ada pula yang ingin bersuara, namun tak tahu bagaimana menyampaikannya.
Ini adalah fenomena sejak negeri ini katanya merdeka. Namun, kata “merdeka” itu hanya berlaku bagi mereka yang berkuasa. Apakah ini semuah pendiaman atau lawan?


Penulis: Fajri