Selasa, 20 Mei 2025

ISLAMIC BANKING OUTDOR STUDY 2025

 


Opini dari kelompok ketiga membahas terkait;

"Penghapusan Uang Tunai dan Literasi Keuangan Di Indonesia"

Perkembangan teknologi digital telah mendorong perubahan besar dalam sistem pembayaran global, termasuk di Indonesia. Salah satu tren yang semakin menguat adalah pengurangan uang tunai (cashless society) dan transisi menuju sistem pembayaran digital. Pemerintah indonesia, melalui Bank Indonesia, secara aktif mendorong digitalisasi sistem pembayaran, termasuk melalui program Gerakan Nasional Non Tunai dan implementasi QRIS. Menurut data Bank Indonesia, hingga Desember 2023, jumlah pengguna QRIS telah mencapai lebih dari 45 juta dengan volume transaksi menembus Rp 197 triliun, meningkat tajam dari tahun sebelumnya.

Namun, meskipun pertumbuhan transaksi digital terlihat signifikan, tantangan besar masih membayangi, terutama terkait literasi keuangan dan kesenjangan akses digital. Berdasarkan survei Otoritas Jasa Keuangan tahun 2022, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 49,68%, meskipun tingkat inklusi keuangan sudah sebesar 85,10%. Artinya, sebagian besar masyarakat sudah memiliki akses ke layanan keuangan, namun belum sepenuhnya memahami cara mengelola dan menggunakan layanan tersebut secara bijak.

Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman yang cukup serius di tengah percepatan digitalisasi, yang berpotensi menimbulkan berbagai risiko, seperti penipuan digital, penyalahgunaan data, hingga overkredit pada layanan pinjaman daring. Di sisi lain, masyarakat di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) masih menghadapi tantangan infrastruktur yang menghambat adopsi sistem pembayaran digital secara merata. Oleh karena itu, penting untuk membahas secara mendalam tantangan-tantangan yang dihadapi indonesia dalam proses penghapusan uang tunai, serta urgensi peningkatan literasi keuangan sebagai fondasi utama menuju masyarakat digital yang inklusif dan berkelanjutan.

Perkembangan teknologi digital mendorong tren global menuju masyarakat tanpa uang tunai (cashless society). Indonesia pun tidak luput dari arus ini, dengan pemerintah dan Bank Indonesia mendorong penggunaan transaksi digital seperti QRIS, mobile banking, dan e-wallet. Namun, upaya penghapusan uang tunai di Indonesia bukan tanpa tantangan, terutama karena rendahnya literasi keuangan di sebagian besar populasi 

1.      Ketimpangan Akses dan Infrastruktur Digital

Meskipun kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya sudah relatif familiar dengan sistem pembayaran digital, realitas di daerah terpencil sangat berbeda. Masih banyak wilayah di Indonesia yang belum memiliki akses internet yang stabil atau infrastruktur pendukung digital yang memadai. Menghapus uang tunai dalam konteks ini justru dapat memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi.

2.      Rendahnya Literasi Keuangan dan Digital

Data OJK tahun 2022 menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai sekitar 49,68%. Ini artinya, lebih dari separuh masyarakat belum memiliki pemahaman yang cukup tentang pengelolaan uang, apalagi penggunaan teknologi finansial. Tanpa pemahaman ini, peralihan ke sistem non-tunai dapat menimbulkan kebingungan, penipuan, dan potensi penyalahgunaan data pribadi.

3.      Kecenderungan Masyarakat terhadap Uang Tunai

Kebiasaan menggunakan uang tunai masih sangat melekat, terutama di kalangan masyarakat lansia, pelaku usaha mikro, dan komunitas di daerah rural. Uang tunai dianggap lebih nyata, mudah dikontrol, dan tidak bergantung pada jaringan atau teknologi. Kepercayaan terhadap sistem digital juga masih menjadi masalah besar karena kekhawatiran akan kebocoran data dan keamanan transaksi.

4.      Potensi Keuangan Inklusif yang Belum Maksimal

Salah satu argumen mendukung cashless society adalah inklusi keuangan. Namun jika masyarakat tidak dibekali dengan literasi keuangan yang cukup, inklusi bisa berubah menjadi eksklusi. Orang-orang yang tidak paham atau tidak memiliki akses ke layanan digital akan semakin terpinggirkan.

5.      Peran Pemerintah dan Lembaga Keuangan

Pemerintah dan sektor swasta harus berjalan beriringan untuk menjembatani kesenjangan ini. Edukasi literasi keuangan dan digital harus menjadi program yang masif dan berkelanjutan. Penyedia layanan keuangan juga harus menyediakan produk yang msudah digunakan, transparan, dan disesuaikan dengan kebutuhan msyarakat akar rumput.

Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok telah mengalami dua fenomena besar yang menarik perhatian dunia: pergeseran menuju masyarakat tanpa uang tunai dan serangkaian gempa bumi dahsyat. Kedua peristiwa ini tidak hanya memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Tiongkok, tetapi juga memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, dalam menghadapi tantangan serupa.

Tiongkok telah menjadi pelopor dalam adopsi pembayaran digital, dengan platform seperti Alipay dan WeChat Pay yang mendominasi transaksi harian. Namun, dominasi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap eksklusi finansial, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia dan penduduk pedesaan yang kurang melek teknologi. Sebagai respons, pemerintah Tiongkok mulai memperlambat transisi menuju masyarakat tanpa uang tunai dan menegakkan hukum yang mewajibkan penerimaan uang tunai di semua transaksi. Langkah ini mencerminkan upaya untuk menjaga inklusi finansial di tengah kemajuan teknologi. Di sisi lain, Tiongkok juga menghadapi serangkaian gempa bumi besar yang menguji ketahanan infrastruktur dan sistem daruratnya. Gempa di Tibet pada Januari 2025, misalnya, menewaskan lebih dari 120 orang dan menyebabkan ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal. Kejadian ini menyoroti pentingnya kesiapan sistem pembayaran dan distribusi bantuan yang dapat berfungsi bahkan ketika infrastruktur fisik rusak. Dalam konteks ini, ketergantungan pada sistem pembayaran digital yang memerlukan konektivitas internet dan listrik menjadi tantangan. Gempa bumi dapat merusak jaringan komunikasi dan listrik, membuat sistem pembayaran digital tidak dapat digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi membawa kemudahan, keberadaan uang tunai tetap penting sebagai cadangan dalam situasi darurat.

Indonesia, yang juga berada di wilayah rawan gempa, dapat mengambil pelajaran dari pengalaman Tiongkok. Meskipun pemerintah Indonesia mendorong penggunaan pembayaran digital melalui Gerakan Nasional Non Tunai, penting untuk memastikan bahwa transisi ini tidak meninggalkan kelompok masyarakat yang belum siap. Data menunjukkan bahwa pada 2019, tingkat literasi keuangan di Indonesia masih rendah, dengan hanya sekitar 29,7% masyarakat yang memiliki pemahaman keuangan yang memadai. Untuk mengatasi hal ini, Otoritas Jasa Keuangan meluncurkan Gerakan Nasional Literasi Keuangan (GENCARKAN) yang bertujuan meningkatkan literasi keuangan di seluruh Indonesia, termasuk di wilayah timur seperti Sulawesi Selatan. Program ini melibatkan edukasi kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta masyarakat umum tentang pentingnya pengelolaan keuangan dan penggunaan layanan keuangan digital.

Namun, tantangan tetap ada. Banyak masyarakat Indonesia, terutama di daerah terpencil, masih menghadapi keterbatasan akses terhadap infrastruktur digital dan pendidikan keuangan. Oleh karena itu, pendekatan yang inklusif dan bertahap diperlukan untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat berpartisipasi dalam ekosistem keuangan digital. Selain itu, penting bagi Indonesia untuk mempertahankan sistem pembayaran yang dapat berfungsi dalam kondisi darurat. Pengalaman Tiongkok menunjukkan bahwa ketergantungan penuh pada sistem digital dapat menjadi kelemahan saat terjadi bencana alam. Oleh karena itu, keberadaan uang tunai sebagai alternatif tetap harus dijaga dan didukung oleh kebijakan yang memastikan penerimaannya di semua sektor.

Dalam jangka panjang, Indonesia perlu membangun sistem keuangan yang tangguh dan inklusif, yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi sekaligus mempertahankan aksesibilitas bagi semua. Hal ini mencakup investasi dalam infrastruktur digital, pendidikan keuangan, dan kebijakan yang mendukung inklusi finansial. Dengan mengambil pelajaran dari Tiongkok, Indonesia dapat mengembangkan strategi yang seimbang antara inovasi teknologi dan inklusi sosial. Pendekatan ini akan memastikan bahwa transformasi digital dalam sektor keuangan dapat memberikan manfaat maksimal bagi seluruh masyarakat, sekaligus meminimalkan risiko eksklusi dan kerentanan dalam menghadapi bencana.

Sebagai kesimpulan, penghapusan uang tunai di Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama rendahnya literasi keuangan dan ketimpangan akses digital. Untuk menjawab hal ini, solusi-solusi yang dapat diterapkan yaitu Penerapan sistem pembayaran hybrid, perluasan infrastruktur digital nasional, literasi keuangan berbasis komunitas dan teknologi, platform keuangan ramah UMKM dan lansia, regulasi wajib terima uang tunai, insentif transaksi digital terukur dan simulasi kesiapan sistem pembayaran saat bencana.


Penulis: Sitti Aisyah Kahar, Linda Nur Fadilah, Lilis alisa, Syahrini, A. Nur Khusnul Khatimah, Ila Nabila, Syukran Rustam, Ahmad Naufal (para peserta kegiatan Islamic Banking Outdoor Study 2025 kelompok 3)

Editor: Sitti Aisyah Kahar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar