"Penghapusan Uang Tunai dan Literasi Keuangan Di Indonesia"
Perkembangan
teknologi digital telah mendorong perubahan besar dalam sistem pembayaran
global, termasuk di Indonesia. Salah satu tren yang semakin menguat adalah pengurangan uang tunai (cashless society) dan
transisi menuju sistem pembayaran digital. Pemerintah indonesia, melalui Bank
Indonesia, secara aktif mendorong digitalisasi sistem pembayaran, termasuk
melalui program Gerakan Nasional Non Tunai dan implementasi QRIS. Menurut data
Bank Indonesia, hingga Desember 2023, jumlah pengguna QRIS telah mencapai lebih
dari 45 juta dengan
volume transaksi menembus Rp 197
triliun, meningkat tajam dari tahun sebelumnya.
Namun,
meskipun pertumbuhan transaksi digital terlihat signifikan, tantangan besar
masih membayangi, terutama terkait literasi
keuangan dan kesenjangan akses digital. Berdasarkan survei Otoritas Jasa
Keuangan tahun 2022, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru
mencapai 49,68%, meskipun
tingkat inklusi keuangan sudah sebesar 85,10%.
Artinya, sebagian besar masyarakat sudah memiliki akses ke layanan keuangan,
namun belum sepenuhnya memahami cara mengelola dan menggunakan layanan tersebut
secara bijak.
Kondisi
ini menunjukkan adanya kesenjangan
pemahaman yang cukup serius di tengah percepatan digitalisasi,
yang berpotensi menimbulkan berbagai risiko, seperti penipuan digital,
penyalahgunaan data, hingga overkredit pada layanan pinjaman daring. Di sisi
lain, masyarakat di daerah 3T
(terdepan, terluar, dan tertinggal) masih menghadapi tantangan
infrastruktur yang menghambat adopsi sistem pembayaran digital secara merata. Oleh karena itu, penting untuk
membahas secara mendalam tantangan-tantangan
yang dihadapi indonesia dalam proses penghapusan uang tunai, serta
urgensi peningkatan literasi keuangan sebagai fondasi utama menuju masyarakat
digital yang inklusif dan berkelanjutan.
Perkembangan teknologi digital mendorong tren global menuju masyarakat tanpa uang tunai (cashless society). Indonesia pun tidak luput dari arus ini, dengan pemerintah dan Bank Indonesia mendorong penggunaan transaksi digital seperti QRIS, mobile banking, dan e-wallet. Namun, upaya penghapusan uang tunai di Indonesia bukan tanpa tantangan, terutama karena rendahnya literasi keuangan di sebagian besar populasi
1.
Ketimpangan Akses dan
Infrastruktur Digital
Meskipun kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya sudah relatif familiar dengan sistem pembayaran digital, realitas di daerah terpencil sangat berbeda. Masih banyak wilayah di Indonesia yang belum memiliki akses internet yang stabil atau infrastruktur pendukung digital yang memadai. Menghapus uang tunai dalam konteks ini justru dapat memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi.
2.
Rendahnya Literasi Keuangan dan
Digital
Data OJK tahun 2022 menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai sekitar 49,68%. Ini artinya, lebih dari separuh masyarakat belum memiliki pemahaman yang cukup tentang pengelolaan uang, apalagi penggunaan teknologi finansial. Tanpa pemahaman ini, peralihan ke sistem non-tunai dapat menimbulkan kebingungan, penipuan, dan potensi penyalahgunaan data pribadi.
3.
Kecenderungan Masyarakat terhadap
Uang Tunai
Kebiasaan menggunakan uang tunai masih sangat melekat, terutama di kalangan masyarakat lansia, pelaku usaha mikro, dan komunitas di daerah rural. Uang tunai dianggap lebih nyata, mudah dikontrol, dan tidak bergantung pada jaringan atau teknologi. Kepercayaan terhadap sistem digital juga masih menjadi masalah besar karena kekhawatiran akan kebocoran data dan keamanan transaksi.
4.
Potensi Keuangan Inklusif yang
Belum Maksimal
Salah satu argumen mendukung cashless society adalah inklusi keuangan. Namun jika masyarakat tidak dibekali dengan literasi keuangan yang cukup, inklusi bisa berubah menjadi eksklusi. Orang-orang yang tidak paham atau tidak memiliki akses ke layanan digital akan semakin terpinggirkan.
5.
Peran Pemerintah dan Lembaga
Keuangan
Pemerintah dan sektor swasta harus berjalan beriringan untuk menjembatani kesenjangan ini. Edukasi literasi keuangan dan digital harus menjadi program yang masif dan berkelanjutan. Penyedia layanan keuangan juga harus menyediakan produk yang msudah digunakan, transparan, dan disesuaikan dengan kebutuhan msyarakat akar rumput.
Dalam
beberapa tahun terakhir, Tiongkok telah mengalami dua fenomena besar yang
menarik perhatian dunia: pergeseran menuju masyarakat tanpa uang tunai dan
serangkaian gempa bumi dahsyat. Kedua peristiwa ini tidak hanya memengaruhi
kehidupan sehari-hari masyarakat Tiongkok, tetapi juga memberikan pelajaran
penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, dalam menghadapi tantangan
serupa.
Tiongkok
telah menjadi pelopor dalam adopsi pembayaran digital, dengan platform seperti
Alipay dan WeChat Pay yang mendominasi transaksi harian. Namun, dominasi ini
menimbulkan kekhawatiran terhadap eksklusi finansial, terutama bagi kelompok
rentan seperti lansia dan penduduk pedesaan yang kurang melek teknologi.
Sebagai respons, pemerintah Tiongkok mulai memperlambat transisi menuju
masyarakat tanpa uang tunai dan menegakkan hukum yang mewajibkan penerimaan
uang tunai di semua transaksi. Langkah ini mencerminkan upaya untuk menjaga
inklusi finansial di tengah kemajuan teknologi. Di sisi lain, Tiongkok juga
menghadapi serangkaian gempa bumi besar yang menguji ketahanan infrastruktur
dan sistem daruratnya. Gempa di Tibet pada Januari 2025, misalnya, menewaskan
lebih dari 120 orang dan menyebabkan ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal.
Kejadian ini menyoroti pentingnya kesiapan sistem pembayaran dan distribusi
bantuan yang dapat berfungsi bahkan ketika infrastruktur fisik rusak. Dalam konteks ini, ketergantungan
pada sistem pembayaran digital yang memerlukan konektivitas internet dan
listrik menjadi tantangan. Gempa bumi dapat merusak jaringan komunikasi dan
listrik, membuat sistem pembayaran digital tidak dapat digunakan. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun teknologi membawa kemudahan, keberadaan uang tunai
tetap penting sebagai cadangan dalam situasi darurat.
Indonesia,
yang juga berada di wilayah rawan gempa, dapat mengambil pelajaran dari
pengalaman Tiongkok. Meskipun pemerintah Indonesia mendorong penggunaan
pembayaran digital melalui Gerakan Nasional Non Tunai, penting untuk memastikan
bahwa transisi ini tidak meninggalkan kelompok masyarakat yang belum siap. Data
menunjukkan bahwa pada 2019, tingkat literasi keuangan di Indonesia masih
rendah, dengan hanya sekitar 29,7% masyarakat yang memiliki pemahaman keuangan
yang memadai. Untuk
mengatasi hal ini, Otoritas Jasa Keuangan meluncurkan Gerakan Nasional Literasi
Keuangan (GENCARKAN) yang bertujuan meningkatkan literasi keuangan di seluruh
Indonesia, termasuk di wilayah timur seperti Sulawesi Selatan. Program ini
melibatkan edukasi kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta
masyarakat umum tentang pentingnya pengelolaan keuangan dan penggunaan layanan
keuangan digital.
Namun,
tantangan tetap ada. Banyak masyarakat Indonesia, terutama di daerah terpencil,
masih menghadapi keterbatasan akses terhadap infrastruktur digital dan
pendidikan keuangan. Oleh karena itu, pendekatan yang inklusif dan bertahap
diperlukan untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat berpartisipasi
dalam ekosistem keuangan digital. Selain
itu, penting bagi Indonesia untuk mempertahankan sistem pembayaran yang dapat
berfungsi dalam kondisi darurat. Pengalaman Tiongkok menunjukkan bahwa ketergantungan
penuh pada sistem digital dapat menjadi kelemahan saat terjadi bencana alam.
Oleh karena itu, keberadaan uang tunai sebagai alternatif tetap harus dijaga
dan didukung oleh kebijakan yang memastikan penerimaannya di semua sektor.
Dalam jangka panjang, Indonesia perlu membangun sistem keuangan yang tangguh dan inklusif, yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi sekaligus mempertahankan aksesibilitas bagi semua. Hal ini mencakup investasi dalam infrastruktur digital, pendidikan keuangan, dan kebijakan yang mendukung inklusi finansial. Dengan mengambil pelajaran dari Tiongkok, Indonesia dapat mengembangkan strategi yang seimbang antara inovasi teknologi dan inklusi sosial. Pendekatan ini akan memastikan bahwa transformasi digital dalam sektor keuangan dapat memberikan manfaat maksimal bagi seluruh masyarakat, sekaligus meminimalkan risiko eksklusi dan kerentanan dalam menghadapi bencana.
Sebagai
kesimpulan, penghapusan uang tunai di Indonesia menghadapi tantangan besar,
terutama rendahnya literasi keuangan dan ketimpangan akses digital. Untuk
menjawab hal ini, solusi-solusi yang dapat diterapkan yaitu Penerapan sistem
pembayaran hybrid, perluasan infrastruktur digital nasional, literasi keuangan
berbasis komunitas dan teknologi, platform keuangan ramah UMKM dan lansia,
regulasi wajib terima uang tunai, insentif transaksi digital terukur dan
simulasi kesiapan sistem pembayaran saat bencana.
Penulis: Sitti Aisyah Kahar, Linda Nur Fadilah, Lilis alisa, Syahrini, A. Nur Khusnul Khatimah, Ila Nabila, Syukran Rustam, Ahmad Naufal (para peserta kegiatan Islamic Banking Outdoor Study 2025 kelompok 3)
Editor: Sitti Aisyah Kahar

Tidak ada komentar:
Posting Komentar