HAK YANG DIPERJUANGKAN
Sebuah hak yang tak kunjung dikabulkan, bahkan dibungkam. 1 Mei adalah Hari Buruh—simbol perjuangan hak-hak pekerja. 2 Mei adalah Hari Pendidikan Nasional—momen untuk merayakan hak atas pendidikan, sekaligus mengingatkan: kepada siapa hak itu seharusnya diberikan?
Namun, dunia pendidikan kita belum sembuh.Kurikulum berganti setiap kali pemimpin berganti, seolah hanya menjadi alat politik, bukan alat pendidikan. Belum terlihat bukti konkret dari implementasi kurikulum-kurikulum tersebut. Muncul kebijakan "Efisiensi" menjadi wabah baru, menjadi jargon kebijakan, namun dampaknya justru memiskinkan mutu pendidikan.
Efisiensi bukan lagi sekadar istilah. Ini adalah kenyataan: terkatung-katung tanpa kejelasan kemana dan apa tujuan dari efisiensi itu.
"Efisiensi" bahkan menjelma jadi pemotongan hak bagi dunia pendidikan. Dana yang seharusnya untuk kegiatan positif mendadak nihil—Rp. 0. Tidak jelas, apakah ini ulah oknum yang bermain di balik layar, atau ini murni kebijakan pemerintah? Tidak ada transparansi, tidak ada kenjelasan.
Tenaga pendidik honorer yang tak kunjung di bayarkan upahnya yang kemudian tak mampu menopang kehidupannya. Di sisi lain anak yang mendapat makan gratis dari program pemerintah namun biaya sekolah yang tak sejalan dengan perekonomian keluarganya. Ini sebuah bentuk fenomena yang cukup unik.
Maka, ke mana hak-hak yang seharusnya diperjuangkan itu? Apakah kita akan terus diam, membiarkan wabah "efisiensi" ini mencekik kita perlahan? Atau kita harus melawan? Satu kata yang ambigu.
Dalam Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire menulis bahwa budaya penindasan tidak akan hilang dengan sendirinya. Mungkin karena mereka yang pernah tertindas, saat memegang kuasa, justru mengulang pola penindasan itu. Apakah ini bagian dari kultur tirani yang diwariskan, dari satu penguasa ke penguasa berikutnya?
Penulis: _fajrii
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar